... Menulis tentang apa yang saya saksikan dengan MATA, HATI, dan PIKIRAN ke-MELANESIA-an saya di West Papua sebelum menerima salah satu bagian dari hidup yang mutlak, yakni KEMATIAN...

Senin, November 08, 2010

Rakyat Papua Desak Obama Bicara Pelanggaran HAM dan Sejarah

Solidaritas Nasional Bangsa Papua Barat untuk Obama (SONABPO) di seluruh tanah Pepua mendesak Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk berbicara dan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat di tanah Papua sejak tahun 1963. Mereka juga meminta Obama untuk segera meninjau kembali pelaksaan penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang cacat moral dan hukum.

Dari Nabire dilaporkan bahwa, SONABPO Wilayah Nabire mengadakan Jumpa Persnya di Taman Bunga Bangsa, Taman Gizi Nabire, Senin, (8/11) menyampaikan 6 poin kepada Obama.

Pada Jumpa Per situ, Ketua Dewan Adat Wilayah Mepago, Benny Edoway membacakan enam poin pernyataan orang Papua di wilayah Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya, dan Puncak Jaya. Pada poin pertama mereka meminta untuk Amerika, Belanda, PBB, dan Indonesia bertanggung jawab atas ribuan pelanggaran HAM di tanah Papua sejak tahun 1969.

Kedua, implementasi Otonomi Khusus di Papua telah gagal total karena Indonesia tidak serius. Maka mendesak kepada Obama untuk desak PBB melakukan referendum ulang. Ketiga, kekerasan militer Indonesia di Tingginambut dan wilayah lain harus diadili di pengadilan HAM.

Keempat, mendesak kepada pendonor dana Otonomi Khusus Papua untuk hentikan karena dana itu digunakan untuk migrant yang dikirim dari Jawa ke Papua Barat. Kelima, dunia membuka mata atas tindakan pelenyapan rasial (genosida) yang dilakukan oleh Indonesia terhadap orang Papua. Keenam, menarik seluruh pasukan di Puncak Jaya dan Papua.

Beberapa aktivis berharap, jaminan keamanan kerja bagi aktivis HAM dan kebebasan ekspresi harus dibuka seluas-luasnya di tanah Papua. Hal ini akan menaikan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Indonesia sebagai bagian dari dunia akan melihat apapun yang akan terjadi di Papua.

Dikatakan, Darius Yarangka tokoh PEPERA 1969, dalam Jumpa Pers itu mengatakan, sejarah Papua Barat termanipulasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi-politik dari bangsa lain terutama Amerika Serikat.

“Amerika mendorong Indonesia untuk melakukan aneksasi atas Papua Barat. Proses politik yang terjadi sebelum Pelaksanaan Pepera tahun 1969 adalah sebuah proses kepentingan ideologi dunia mengambil peran yang cukup penting dalam proses sejarah Papua Barat. Saya tahu bahwa Blok kapitalis (Barat) yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Blok Sosialisme yang dimotori oleh Uni Soviet yang memiliki peran politik sangat besar atas bargaining politik bagi nasib politik Papua Barat hari ini,” kata Darius.

Katanya, Menase Sayori (Inggeruhi) pada Jumpa Pers itu bersaksi, Amerika memainkan peran dengan memotong akses politik Belanda atas jajahannya di Papua Barat dan mendorong Belanda untuk menerima rancangan diplomasi politik yang ditawarkan oleh diplomat Amerika, yaitu Elsworth Buncker yang melahirkan Dokumen Buncker dimana merancang gagasan politik penting soal penentuan nasib sendiri rakyat Papua Barat.

“Dari gagasan Buncker lahirlah UN Resolution yang terkenal dengan the New York Agreement (NYA) dimana ditetapkan prinsip-prinsip teknis tentang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Pepera 1969 sangat tidak adil, tidak demokratis dan sangat diskriminatif bagi Bangsa Papua Barat. Kami lakukan semua itu di bawah tekanan militer Indonesia. Waktu itu yang ikut perwakilan saja. Pepera tidak sah,” katanya.

Untuk itu, katanya, sudah jelas kepentingan ekonomi tersebut adalah Freeport McMoran Gold & Copper yang berbasis di New Orleans, salah satu perusahaan tambang terbesar di Amerika Serikat, yang dikemudian hari menjadi masalah bagi hak-hak politik Rakyat Papua Barat.

“Akibat adanya intervensi politik AS terhadap Belanda mengakibatkan tidak berartinya dukungan politik Belanda atas penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat dan juga dukungan AS atas klik dalam tubuh TNI-AD pada tahun 1965–1966 yang mematangkan kehadiran Regime Otoriter-Militeristik Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Soeharto menyebabkan Papua Barat hari ini menjadi daerah aneksasi dan menjadi ladang bagi kolonisasi ekonomi dan politik serta ladang pembantaian (killing field) kemanusiaan oleh Indonesia,” katanya mengutip pernyataan sikap.

Pekerja HAM Yones Dou mengatakan, ribuan kasus pelanggaran HAM di tanah Papua sejak 1963 belum diselesaikan secara bermartabat oleh Indonesia. Katanya, 290 kasus yang dibeberkan oleh Imparsial beberapa waktu lalu adalah sebagian kecil. “Sejak Bangsa Papua Barat dianeksasi kedalam Negara Indonesia hingga saat ini terjadi ribuan pelanggaran Hak Asasi Manusia tetapi tidak pernah terungkap. Kami mendesak kepada Obama untuk menjadi perhatian khusus dalam kunjungan ini,” katanya.

Dua tokoh Pepera 1969, Darius dan Menase mendesak kepada Obama untuk membicarakan status politik Papua. “Obama sebagai orang yang menghargai kebenaran, kejujuran dan hak-hak asasi manusia, dia harus bicara soal politik Papua. Martabat bangsa Papua tergadai untuk kepentingan orang lain,” kata mereka.***


Tidak ada komentar:

----------------------------------------------------------------------------------------
Perjuangan pembebasan nasional Papua Barat bukan perjuangan melawan orang luar Papua (Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Ambon dan lainnya) tetapi perjuangan melawan ketidakadilan dan pengakuan akan KEMANUSIAANNYA MANUSIA PAPUA BARAT DI ATAS TANAH LELUHURNYA.Jadi, Merdeka bagi orang Papua adalah HARFA DIRI BANGSA PAPUA BARAT!