... Menulis tentang apa yang saya saksikan dengan MATA, HATI, dan PIKIRAN ke-MELANESIA-an saya di West Papua sebelum menerima salah satu bagian dari hidup yang mutlak, yakni KEMATIAN...

Jumat, Desember 10, 2010

Indonesia: Explain Transfer of Imprisoned Activists

(New York) - The Indonesian authorities should immediately allow two Papuan political prisoners and three others to fairly contest their transfer from prison to a police headquarters and permit them access to their lawyers, Human Rights Watch said today. Filep Karma, 51, and Buchtar Tabuni, 31, have been held at the Jayapura police station in West Papua since being brought there a day after a riot at Abepura prison on December 3, 2010.

On international Human Rights Day, Human Rights Watch also reiterated its call for the Indonesian government to free immediately the more than 130 Papuan and Moluccan activists imprisoned for peacefully voicing political views, and to reform laws and policies to protect freedom of expression.

"Prisoners have rights too, and ignoring those rights is no way to celebrate Human Rights Day," said Elaine Pearson, deputy Asia director at Human Rights Watch. "The authorities should explain why Filep Karma and Buchtar Tabuni have been thrown in a police lock-up and denied access to lawyers."

The Jayapura police chief, Commissionaire Imam Setiawan, told the media that the police had "secured" Karma and Tabuni at the Jayapura police station for provoking a riot that occurred at Abepura prison following an attempted prison break on December 3 in which a prisoner was shot and killed. Karma and Tabuni informed Federika Korain of the United Papuan People's Democracy Forum (FORDEM) that they were transferred to the police station without being told that they had committed an offense.

Under the United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, "[N]o prisoner shall be punished unless he has been informed of the offense alleged against him and given a proper opportunity of presenting his defense."

Since being taken to the police station, Karma and Tabuni have requested access to their legal counsel but have been refused. On December 8, Karma's lawyer, Harry Masturbongs, came to the station but was not allowed to meet with his client. The police have also refused to let Karma's family visit him.

According to the UN Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment, an "imprisoned person shall be entitled to communicate and consult with his legal counsel." The rights of an "imprisoned person to be visited by and to consult and communicate, without delay or censorship and in full confidentiality, with his legal counsel may not be suspended or restricted save in exceptional circumstances, to be specified by law or lawful regulations, when it is considered indispensable by a judicial or other authority in order to maintain security and good order."

On December 9, Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono opened the third Bali Democracy Forum, which is aimed at promoting regional international cooperation to foster democracy and political development among countries in Asia. President Yudhoyono said in his opening speech, "There are a lot of variants of democracy but there must be universal values and spirits within the democracy itself." Human Rights Watch called on the Indonesian government to respect the basic right to free expression, as laid out in the International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia ratified in 2006.

"Holding political prisoners is embarrassing and totally out-of-step with the image of a modern democratic state that Indonesia is trying to project," Pearson said. "President Yudhoyono should show his commitment to basic rights by freeing people imprisoned for the peaceful expression of their political views, including Filep Karma and Buchtar Tabuni."

Background

Filep Karma, age 51, has been in Abepura prison for six years. In May 2005, the Abepura district court found him guilty of treason for organizing a Papuan independence rally on December 1, 2004, and sentenced him to 15 years in prison.

Buchtar Tabuni, age 31, is a leader of the West Papua National Committee, a Papuan independence organization that has grown more radical since his imprisonment. He was arrested in Jayapura on December 3, 2008, for organizing protests against the shooting of his relative, Opinus Tabuni. He was sentenced to three years' imprisonment under article 160 of the Criminal Code for "inciting hatred" against the Indonesian government.

Human Rights Watch has documented beatings in Abepura prison in 2008 and 2009 that led to investigations into prison conditions by the National Human Rights Commission and the removal of the previous prison warden.

Human Rights Watch's June 2010 report, Prosecuting Political Aspiration, describes the mistreatment of individuals serving prison sentences for peaceful acts of free expression in Papua and the Moluccas Islands, including Filep Karma and Buchtar Tabuni.

Sumber: http://www.hrw.org/en/news/2010/12/10/indonesia-explain-transfer-imprisoned-activists


Selengkapnya...

Minggu, November 28, 2010

Data Intelijen Kopassus Bocor?

Para Tokoh dan Aktivis Papua  Diincar

Negara tidak memungkiri ada operasi militer tetapi semata-mata demi keamanan di wilayah perbatasan RI-PNG

Konstalasi politik di Papua terus menghangat pada hampir tiga bulan terakhir pasca Publik Hearing Kongres Amerika. Berita mengejutkan kembali melanda Papua dengan menghangatnya berita kebocoran data intelijen Kopassus di Kotaraja, Jayapura.

Allan Nairn, jurnalis dari Amerika serikat dalam blog pribadinya (9/11) merealease data Laporan Operasi Intelijen Korps Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Kotaraja, Jayapura pada Tahun 2007. Dalam dua data laporan Pasukan Baret Merah Indonesia yang bocor ini, mereka mengidentifikasi aktivis gereja dan LSM sebagai musuh dan dianggap berpotensi menyebarkan semangat anti terhadap Pemerintah Indonesia.

Laporan Allan Nairn mengungkapkan, Kopassus menggelar operasi intelijen untuk mengawasi belasan aktivis Papua yang dianggap mengkampanyekan gerakan Papua merdeka.

Dalam laporan Triwulan I Pos Kotaraja yang dibuat oleh Danpos, Lettu Inf Nur Wahyudi di Kotaraja, Agustus 2007 mengungkap beberapa hal penting yaitu keadaan daerah operasi, baik secara geografi, aspek demografi maupun aspek kondisi sosial. Pada aspek sosial inilah terdapat data Orang-orang Papua yang menjadi targer incaran. Terdapat 15 nama yang diberi kode tokoh-tokoh GSP/P yang berdomisili di Kotaraja dan sekitarnya.

Dari list nama-nama tersebut, Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Ketua Gereja Baptis Papua) berada pada urutan pertama. Saat dikonfirmasi mengenai kemunculan data ini, Yoman mengaku jika selama ini diincar oleh Kopassus Tahun 2007 lalu.

“Saya pernah diundang untuk hadiri acara mereka tapi saya tidak pergi, kita sudah mengenal cara begini jadi diundang juga kami tidak pernah hadir, jadi skenarionya seperti Theys Hiyo Eluays yang diundang lalu dibunuh,” ujar Yoman saat di Konfirmasi JUBI di Jayapura, Rabu (10/11).

Menurutnya Yoman, kehadiran Kopassus di Papua untuk kepentingan ekonomi, keamanan dan politik. Selain itu, Kopassus juga hadir untuk memperoteksi Sumber Daya Alam dan transmigran. “Kami ini minta keadilan. Saya sebagai pemimpin gereja hanya akan bicara soal keadilan, dalam hal ini kami tidak akan mundur satu langkah pun” tegasnya.

Selain itu, data ini juga dilengkapi dengan perhitungan kekuatan yang dimiliki baik kekuatan kawan maupun kekuatan lawan baik satuan organik maupun non-organik dari TNI AD, TNI AL, TNI AU, POLRI. Konsep operasinya terdiri atas tiga poin yaitu manuver, pentahapan operasi dan gelar pasukan atau pos.

Buchtar Tabuni (Ketua Komite Nasional Papua Barat) juga menjadi target dalam operasi ini. “Bagi saya, mereka itu orang-orang penakut yang tidak mau disaingi yang kerjanya meneror Orang Papua padahal ruang demokrasi sudah terbuka. Hak untuk berpolitik dijamin penuh oleh undang-undang universal,” kata Buchtar Tabuni pada JUBI (11/11) di Lapas Abepura.

Allan Nairn pernah membuat liputan investigatif peristiwa Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Laporan-laporan Allan berpengaruh pada pemutusan bantuan Amerika Serikat terhadap TNI pada Tahun 1993.

Allan juga pernah melakukan liputan investigasi membongkar dugaan keterlibatan Kopassus dalam operasi pembunuhan aktivis politik di Aceh selama Pemilihan Umum 2009. Menurut Allan, sedikitnya 8 aktivis Partai Aceh dibunuh selama Pemilu 2009. Mereka adalah Tumijan (35 tahun) buruh perkebunan kelapa sawit di Nagan Raya, dan Dedi Novandi alias Abu Karim (33 tahun) yang ditembak di depan rumahnya di Gampong Baro, Bireuen.

Dalam blog pribadinya ini, Allan juga mengungkapkan bahwa Kopassus adalah unit yang paling terkenal dari angkatan bersenjata Indonesia, TNI, yang bersama dengan POLRI, polisi nasional, telah membunuh ratusan ribu masyarakat sipil. AS memulihkan kembali hubungannya dengan Kopassus dengan memberi ‘bantuan’ pada Juli lalu dimana rasionalisasinya adalah untuk itu memerangi terorisme tetapi dokumen ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya Kopassus mentarget warga sipil secara sistematis.

Semua yang tercantum adalah warga sipil, dimulai dengan Ketua Sinode Baptis Papua. Yang lain termasuk Hamba Tuhan, aktivis, pemimpin adat, anggota legislatif, mahasiswa dan intelektual serta tokoh pembentukan lokal dan ketua organisasi pemuda muslim Papua. Operasi intelijen Kopassus juga menyatakan bahwa mereka menargetkan warga sipil karena gerakan sipil jauh lebih berbahaya daripada oposisi bersenjata, apalagi sejak kelompok bersenjata ‘tidak lagi melakukan apa-apa’ tetapi warga sipil - dengan dukungan rakyat - dapat mencapai dunia internasional dengan tujuan mereka adalah merdeka dengan menyebarkan isu pelanggaran berat hak asasi manusia di Papua, yaitu ‘Pembunuhan dan penculikan yang dilakukan oleh pasukan keamanan.’

Seperti yang dilansir salah satu media nasional Indonesia, Voice of Human Rights mengungkapkan bahwa Kodam XVII Cenderawasih meragukan adanya operasi intelijen Kopassus di Kotaraja, Jayapura, pada Tahun 2007. ”Kami tidak memungkiri ada operasi intelijen di Papua. Karena Papua adalah daerah rawan dan perbatasan. Pasukan TNI di Papua ditugaskan untuk situasi rawan tadi. Soal operasi Kopassus, saya tidak begitu yakin,” kata Letkol Inf Susilo, Rabu (10/11).

Susilo meminta masyarakat tidak menerima begitu saja laporan yang didapat dari dunia maya. ”Jangan sampai dipelintir. Kami meminta, jika ada yang mendapat perlakuan kasar dari anggota TNI, langsung melapor ke polisi militer atau polisi, jangan ke yang lain, karena tidak akan menyelesaikan masalah,” katanya.

Samuel Awom, Ketua Gerakan Rakyat Demokratik Papua (GARDA-P) menilai bahwa ada dua poin penting yang dapat diambil, yaitu Pertama, tingkat keprofesionalan di dalam internal mereka dalam mengelola data. Bisnis penjualan data yang dilemparkan ke pihak luar untuk dibuka. Kedua, Ini membuktikan bahwa ruang demokrasi yang terbuka akan segera ditutup dan ini membuktikan bahwa papua masih menjadi daerah operasi militer.

“Mereka tidak akan mengakui perbuatan yang telah mereka lakukan apalagi yang bila menyangkut strategi yang sedang mereka lakukan demi menjaga hubungan Indonesia dengan negara lain yang selama ini memberi bantuan dana militer. Ketakutan atas berkurangnya bantuan dana akan berkurang apabila terbukti,” ujar Awom pada JUBI (12/11).

Persoalan Papua bukanlah milik Rakyat Papua sendiri karena sejarah kelam integrasi Papua ke Indonesia melibatkan beberapa negara termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kekayaan Papua yang melimpah menjadi sumber konflik diantara negara-negara tersebut. Rakyat Papua yang hidup di atas tanah kaya ini tidak pernah menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak yang terus bertikai di atas tanah ini, baik borjuis nasional Indonesia maupun borjuis internasional.

Frederika Korain, aktivis Perempuan Papua yang juga menanggapi data ini mengatakan, ”Dokumen operasi intelijen Kopassus ‘Kotaraja’ ini memberikan gambaran betapa kuatnya operasi intelijen dan pendekatan militeristik dalam penanganan masalah Papua oleh Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini,” ujarnya. Hal ini pertanda, sikap Pemerintahan SBY yang tetap memelihara pola-pola kekerasan di Papua.

“Ini merupakan ancaman serius terhadap hak hidup Masyarakat Papua, juga terhadap kebebasan sipil Rakyat Papua dan hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi pada era Otsus ini” ucap Perempuan Papua ini. Korain juga mengungkap, wajar saja kalau Orang Papua menganggap Otsus gagal dalam melindungi hak-hak asasi manusia Papua walaupun Pemerintah Republik Indonesia dan perwakilannya di Papua terus berkampanye tentang kesuksesan Otsus,” pungkasnya pada JUBI (13/11) di Waena, Jayapura.


Sumber:http://tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/polhukam/9902-data-intelijen-kopassus-bocor-


Selengkapnya...

Giay : WVI 'Menggagahi' Papua

Kehadiran World Vision Inrternasional (WVI) di Papua sudah lama dirasakan oleh masyarakat akar rumput, tetapi keterlibatannya dalam pembentukan Forum Komunikasi Konstruktif Papua seolah-olah menggagahi Papua setelah melayani dalam proyek kemanusiaan selama lebih dari 30 tahun menuju Proyek politik NKRI untuk Papua.

"Saya hadir bersama tiga hamba Tuhan lain dalam Workshop Agustus lalu. Saya tidak diberi ruang yang cukup untuk menyampaikan pendapat," kata Pdt. Benny Giay, salah satu peserta workshop yang dilaksanakan oleh WVI di Depok, 18-21 Agustus 2010

Giay menilai bahwa workshop ini sangat bermuatan politis karena dihadiri oleh petinggi negara seperti Depdagri, Menkopolhukam, Komnas HAM, Badan Intelijen Negara (BIN), Bapebas dan Sekretariat Kepresidenan: Desk Papua. Para pemimpin gereja Papua diundang ikut hadir termasuk Pdt. Herman Awom.

"Pada akhir seminar, mereka merekomendasikan pembentukan wadah Forum Komunikasi Konstruktif Papua, walaupun kami berusaha agar seminar mendukung perjuangan Dialog Jakarta-Papua di bawah komando Pater Neles Tebay," tutur Giay, Kepada JUBI di STFT Fajar Timur di Abepura, Sabtu (27/11).

"Kita, umat Tuhan di Tanah Papua menyaksikan WVI yang dinamis, yang bergerak dari lembaga yang menangani proyek 'melayani' Papua atas dasar Kasih Kristus menuju proyek 'menggagahi' Papua dalam rangka bekerja sama dengan NKRI yang didukung masyarakat internasional dibawah komando Amerika Serikat," katanya.

Workshop ini tidak haya berhenti sampai di situ. Pertemuan kedua berlanjut di Hotel Aston Jayapura pada tanggal 21 September 2010 yang mempertemukan WVI dengan Forum Komunikasi Para Pemimpin Agama (FKPPA) yang diwakili Tony Wanggai untuk menidaklanjuti hasil workshop di Depok. (Aprila Wayar)

sumber: http://tabloidjubi.com/index.php/daily-news/jayapura/9912-giay--wvi-menggagahi-papua
Selengkapnya...

Teror Bagi 15 Aktivis Papua Bukan Solusi

Magai: Malah Membuat Rakyat Indonesia Malu

Adanya 15 aktivis Pro Papua Merdeka yang berupaya meminta perlindungan ke HAM Internasional dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) lantaran merasa menerus mendapat teror, tak luput dari perhatian Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai SIP dan Pengamat Politik Papua Lamadi de Lamato.

Menurut Magai, jika teror itu dilakukan aparat, maka tentu itu sesuatu yang memalukan, bukan hanya bagi TNI tapi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itu, katanya, solusi yang ditawarkan pelbagai pihak yakni demi keberlangsungan hidup rakyat Papua, maka hal yang mendesak dilakukan adalah dialog antara pemerintah pusat dan rakyat Papua, bukan saling jual, teror, intimidasi serta ancaman pembunuhan.

“Orang Papua adalah rakyat Indonesia, orang Papua bicara adalah dalam bentuk dialog. Bagaimana mendialogkan semua persoalan di Papua yang selama ini diabaikan negara untuk bangun rakyat Indonesia yang ada di Papua,” kata politisi Partai Demokrat ini.

Beberapa waktu lalu muncul di media massa bahwa sejumlah tokoh Papua telah didaftar untuk dibunuh oleh kelompok tertentu, dia mengatakan semua itu dilakukan atas nama kebijakan negara untuk menghabiskan orang Papua adalah tindakan melanggar HAM. Pasalnya, ada kewajiban negara yang belum dilaksanakan ketika tokoh tokoh orang Papua meminta kepada pemerintah pusat untuk berdialog dan berdemokrasi.

“Tapi sebaliknya tanggapan pemerintah pusat dalam sebuah kebijakan pemerintah pusat harus dihabisi tokoh tokoh yang sedang berbicara tentang demokrasi di negara ini. Itu yang membahayakan negara karena rahasia apapun telah terbongkar di media massa,” ungkapnya.

“Nanti kita akan malu sendiri di depan Negara- negara lain di seluruh dunia karena aktivis Pro Merdeka juga warga negara Indonesia yang wajib dilindungi negara,” ungkapnya.

Menurutnya, apabila penyelesaian persoalan Papua hanya dilakukan melalui teror, intimidasi, ancaman pembunuhan serta pendekatan keamanan yang dilakukan di Papua adalah suatu kegagalan. Pasalnya, didalam UU Otsus yang diatur bukan pendekatan keamanan, tapi pendekatan pendidikan, kesehatan, infrastruktur serta ekonomi kerakyatan. Hal ini adalah aturan resmi dalam kebijakan negara.

Apalagi, katanya, tindakan tindakan itu masanya sudah lewat, karena TNI terus melakukan pelanggaran HAM di atas tanah ini padahal tugas keamanan dari Polri adalah menertibkan dan menjaga keamanan serta TNI adalah melindungi rakyat terhadap rongrongan dari luar kedalam. “Itu tugasnya, tapi Papua dinilai sebagai suatu negara yang merongrong Indonesia. Itu yang bahaya,” ujarnya.

Sementara itu, menurut Lamadi de Lamato, aksi teror, intimasi serta ancaman pembunuhan terhadap sejumlah aktivis Pro Merdeka tak pernah akan menyelesaikan masalah dimanapun termasuk di Papua.

“Kalau di Papua sampai hari ini masih ada teror dan itu dilakukan oleh militer yang nota bene harus memberikan kenyamanan dan perlindungan kepada masyarakat maka menurut saya hanya ingin memancing persoalan persoalan,”katanya terpisah.

Dia mengtakan, semua orang tahu persoalan yang terakumulasi ini sangat berbahaya sekali dan akan memicu masalah yang tak diinginkan.

“Apa yang kita tak inginkan di Papua ini kita tak inginkan NKRI lepas dari Indonesia tapi kalau teror dilakukan terus menerus kita kemudian tak bisa menghindari fakta yang tak diinginkan,” katanya.

Apakah tindakan aktivis Pro “M” makin menguat dan hal ini justu akan menciptakan instabilitas keamanan negara, menurutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika berkunjung ke Jayapura beberapa hari lalu telah menegaskan bahwa pendekatan keamanan di Papua bukan lagi pendekatan militer, tapi pendekatan kemanusiaan. “Kalau misalnya mereka di Papua budaya Papualah yang mereka bangun untuk melakukan pendekatan dengan mereka. Pendekatan budaya di Papua ini kan sederhana mereka diajak duduk bersama kemudian diminta apa yang menjadi keinginan mereka kenapa mereka seperti itu didengarkan. Dan kemudian aspirasinya dikonkritkan,” katanya.

Karena itu, ungkapnya, semua elemen harus membuka ruang dialog. Di dalam rumah tangga kalau tak ada dialog akan buntuh rumah tangga itu. Apalagi negera yang sudah punya persoalan, seperti Papua maka menurutnya ruang dialog itu harus dibuka seluas-luasnya kepada mereka yang ekstrim sekalipun.

Sumber;http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8842%3Ateror-bagi-15-aktivis-papua-bukan-solusi&catid=25%3Aheadline&Itemid=96
Selengkapnya...

Jumat, November 26, 2010

15 Aktifis Papua Akan Minta Perlindungan ke PBB

15 Aktifis Papua Akan Minta Perlindungan ke PBB, Merasa Terancam Akibat Sering Mendapat Teror

 Masih membekas dalam benak kita, peristiwa sembilan tahun yang lalu, saat salah satu aktifis Papua, Alm.Theys Eluay ditemukan meninggal setelah dinyatakan hilang satu hari sebelumnya.

Kiranya peristiwa itu, sulit terlupakan dan menjadi bayang-bayang yang akan terus menghantui para aktifis Papua, yang tidak berhenti menyuarakan keadilan dan kebenaran di Tanah Papua.

Bahkan belum lama ini, kembali mencuat di permukaan adanya dokument intelkam yang bocor, dan menjadi topik hangat karena telah menyebar melalui dunia maya, dimana dari puluhan lembar dokumant tersebut salah satunya mengisi, 15 nama tokoh aktifis Papua yang menjadi target sasaran operasi intelkam/Kopassus.

Sejak saat itu, satu demi satu para Aktifis mulai mene­rima terror dan intimidasi lainnya. Pernyataan itu seperti diungkapkan Selpius Bobii, salah satu Aktifis Papua yang juga merupakan satu dari tokoh aktifis dari golongan pemuda yang menjadi incaran.

Karena itu, dirinya beserta 15 Aktifis Pa­pua yang menjadi target sasaran akan segera meminta perlindungan kepada Komisi HAM PBB dan Pengiat HAM Internasional.

“ Kami beserta orang tua lainnya, akan segera meminta perlindungan pada Komnas Ham Internasional, juga PBB untuk dapat melindungi 15 tokoh Aktifis Papua yang kini menjadi sasaran target operasi,” ungkapnya.

Ketika disingung mengenai perlindungan aparat keamanan di Indonesia (TNI/Polri) selaku penegak hukum di tanah Air, Selpius justru menyangsikan.

Ia mengatakan, meminta perlindungan kepada kedua aparat keamanan tersebut merupakan pekerjaan yang sia-sia, karena menurutnya, aparat kepolisian maupun TNI/AD tidak mungkin dapat memberikan perlindu­ngan kepada 15 tokoh aktifis Papua, karena selama kasus pembunuhan tokoh utama Aktifis Papua sembilan tahun yang lalu justru adalah aparat dari TNI/AD ( kopa­s­sus sebagaimana yang sidah disidangkan)

Selpius dan juga ke 14 tokoh aktifis lainnya merasa diri bukan teroris yang harus diintimidasi, diincar dan dibunuh. Karena apa yang diperjuangkannya hanya lah meminta keadilan dan kebenaran di atas tanah Papua.

Dan selama ini perjuangan mereka pun dengan jalan yang damai.

“ Kami inikan bukan teroris, kenapa menjadi incaran untuk dibunuh.

Apa yang kami lakukan hanya memperjaungkan keadilan dan kebenaran, dan semua itu kami lakukan dengan jalan yang damai,” lanjutnya.

Untuk diketahui, ke 15 aktivias yang mengaku menjadi target operasi, salah satunya adalah,Sokretes Sofian Nyoman, Dr Beny Giay, Forkorus Yaboisembut, Agus Aulua dan terdapat dua tokoh pemuda lainnya selain Selpius Bobii, yaitu Markus Haluq, dan Bukthar Tabuni.

Selengkapnya...

Senin, November 08, 2010

Demo Sambut Obama, 3 Aktivis Papua Ditahan

DPR Papua mendesak polisi membebaskan 3 aktivis yang berunjuk rasa mendukung kedatangan Presiden Amerika Barack Obama. Polres Jayapura membubarkan aksi mendukung kedatangan Obama di Abepura, Senin (8/11).

Anggota DPR Papua Kenius Kogoya mengatakan, para aktivis ditahan karena dianggap menggelar aksi tanpa izin. Mereka juga dituduh melakukan makar dan penghasutan menjelang kunjungan Obama.

Aktivis Papua yang ditahan adalah Ketua Front Penentuan Pendapat Rakyat (Front Pepera) Selvius Bobi, anggota Front Pepera Frans Kabak, dan aktivis Papua Matius Waur.

”Menyampaikan pendapat di muka umum itu sah-sah saja. Kalau tidak punya izin ya dibubarkan saja, tidak usah ditangkap,” ujar Kenius Kogoya.

Menurut Kogoya, tindakan polisi menangkap aktivis Papua sangat berlebihan. ”Saya yakin mereka tidak melakukan penghasutan atau makar. Tiap hari orang Papua bicara merdeka dan tidak ditangkap.”

DPR Papua meminta ketiga aktivis tersebut dibebaskan karena tidak terbukti melanggar pasal penghasutan dan makar. ”Kalau mau ditangkap, semuanya yang demo. Jangan hanya satu atau dua orang saja,” ujar Kogoya.

Puluhan warga Papua berunjuk rasa di Abepura mendukung kedatangan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama. Mereka meminta Obama mendesak pemerintah meninjau kembali Otonomi Khusus Papua.

Kapolres Jayapura AKBP H Imam Setiawan mengatakan, unjuk rasa tersebut tidak memiliki izin. “Yang lain sudah dibebaskan. Tiga orang ini yang akan kami proses.”

Menurut Imam, ketiga orang yang ditahan melanggar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 2/2008 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Mereka juga dinilai melanggar Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dan penyebaran kebencian di hadapan umum, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun penjara. ”Mereka membawa spanduk yang bertentangan dengan aturan. Rencana demo mereka hari ini tidak memiliki izin. Jadi, saya bubarkan dan tangkap,” kata Imam Setiawan. (E1)


Sumber: http://www.vhrmedia.com/Demo-Sambut-Obama-3-Aktivis-Papua-Ditahan--berita6468.html
Selengkapnya...

Rakyat Papua Desak Obama Bicara Pelanggaran HAM dan Sejarah

Solidaritas Nasional Bangsa Papua Barat untuk Obama (SONABPO) di seluruh tanah Pepua mendesak Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk berbicara dan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat di tanah Papua sejak tahun 1963. Mereka juga meminta Obama untuk segera meninjau kembali pelaksaan penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang cacat moral dan hukum.

Dari Nabire dilaporkan bahwa, SONABPO Wilayah Nabire mengadakan Jumpa Persnya di Taman Bunga Bangsa, Taman Gizi Nabire, Senin, (8/11) menyampaikan 6 poin kepada Obama.

Pada Jumpa Per situ, Ketua Dewan Adat Wilayah Mepago, Benny Edoway membacakan enam poin pernyataan orang Papua di wilayah Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya, dan Puncak Jaya. Pada poin pertama mereka meminta untuk Amerika, Belanda, PBB, dan Indonesia bertanggung jawab atas ribuan pelanggaran HAM di tanah Papua sejak tahun 1969.

Kedua, implementasi Otonomi Khusus di Papua telah gagal total karena Indonesia tidak serius. Maka mendesak kepada Obama untuk desak PBB melakukan referendum ulang. Ketiga, kekerasan militer Indonesia di Tingginambut dan wilayah lain harus diadili di pengadilan HAM.

Keempat, mendesak kepada pendonor dana Otonomi Khusus Papua untuk hentikan karena dana itu digunakan untuk migrant yang dikirim dari Jawa ke Papua Barat. Kelima, dunia membuka mata atas tindakan pelenyapan rasial (genosida) yang dilakukan oleh Indonesia terhadap orang Papua. Keenam, menarik seluruh pasukan di Puncak Jaya dan Papua.

Beberapa aktivis berharap, jaminan keamanan kerja bagi aktivis HAM dan kebebasan ekspresi harus dibuka seluas-luasnya di tanah Papua. Hal ini akan menaikan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Indonesia sebagai bagian dari dunia akan melihat apapun yang akan terjadi di Papua.

Dikatakan, Darius Yarangka tokoh PEPERA 1969, dalam Jumpa Pers itu mengatakan, sejarah Papua Barat termanipulasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi-politik dari bangsa lain terutama Amerika Serikat.

“Amerika mendorong Indonesia untuk melakukan aneksasi atas Papua Barat. Proses politik yang terjadi sebelum Pelaksanaan Pepera tahun 1969 adalah sebuah proses kepentingan ideologi dunia mengambil peran yang cukup penting dalam proses sejarah Papua Barat. Saya tahu bahwa Blok kapitalis (Barat) yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Blok Sosialisme yang dimotori oleh Uni Soviet yang memiliki peran politik sangat besar atas bargaining politik bagi nasib politik Papua Barat hari ini,” kata Darius.

Katanya, Menase Sayori (Inggeruhi) pada Jumpa Pers itu bersaksi, Amerika memainkan peran dengan memotong akses politik Belanda atas jajahannya di Papua Barat dan mendorong Belanda untuk menerima rancangan diplomasi politik yang ditawarkan oleh diplomat Amerika, yaitu Elsworth Buncker yang melahirkan Dokumen Buncker dimana merancang gagasan politik penting soal penentuan nasib sendiri rakyat Papua Barat.

“Dari gagasan Buncker lahirlah UN Resolution yang terkenal dengan the New York Agreement (NYA) dimana ditetapkan prinsip-prinsip teknis tentang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Pepera 1969 sangat tidak adil, tidak demokratis dan sangat diskriminatif bagi Bangsa Papua Barat. Kami lakukan semua itu di bawah tekanan militer Indonesia. Waktu itu yang ikut perwakilan saja. Pepera tidak sah,” katanya.

Untuk itu, katanya, sudah jelas kepentingan ekonomi tersebut adalah Freeport McMoran Gold & Copper yang berbasis di New Orleans, salah satu perusahaan tambang terbesar di Amerika Serikat, yang dikemudian hari menjadi masalah bagi hak-hak politik Rakyat Papua Barat.

“Akibat adanya intervensi politik AS terhadap Belanda mengakibatkan tidak berartinya dukungan politik Belanda atas penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat dan juga dukungan AS atas klik dalam tubuh TNI-AD pada tahun 1965–1966 yang mematangkan kehadiran Regime Otoriter-Militeristik Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Soeharto menyebabkan Papua Barat hari ini menjadi daerah aneksasi dan menjadi ladang bagi kolonisasi ekonomi dan politik serta ladang pembantaian (killing field) kemanusiaan oleh Indonesia,” katanya mengutip pernyataan sikap.

Pekerja HAM Yones Dou mengatakan, ribuan kasus pelanggaran HAM di tanah Papua sejak 1963 belum diselesaikan secara bermartabat oleh Indonesia. Katanya, 290 kasus yang dibeberkan oleh Imparsial beberapa waktu lalu adalah sebagian kecil. “Sejak Bangsa Papua Barat dianeksasi kedalam Negara Indonesia hingga saat ini terjadi ribuan pelanggaran Hak Asasi Manusia tetapi tidak pernah terungkap. Kami mendesak kepada Obama untuk menjadi perhatian khusus dalam kunjungan ini,” katanya.

Dua tokoh Pepera 1969, Darius dan Menase mendesak kepada Obama untuk membicarakan status politik Papua. “Obama sebagai orang yang menghargai kebenaran, kejujuran dan hak-hak asasi manusia, dia harus bicara soal politik Papua. Martabat bangsa Papua tergadai untuk kepentingan orang lain,” kata mereka.***


Selengkapnya...

Jumat, November 05, 2010

LSM: Adili TNI Penyiksa dengan UU HAM

 Video kekerasan terhadap Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire, 30 Mei 2010



 Video kekerasan terhadap 10 orang pada  Maret 2010. 

 Yang diadili pada Jumat, 5 November 2010 di Pengadilan Militer Dok V Jayapura adalah kasus penyiksaan yang terjadi pada Maret  2010 (gambar yang bawah). Kasus penyiksaan sadis (membakar alat kemaluan belum diadili (tampak pada gambar di atas). Presiden Indonesia, SBY tertipu!
***

Atau, perintah pengungkapan ini hanya karena Barack Obama akan datang ke Indonesia?

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak lima anggota Tentara Nasional Indonesia di Papua yang diduga melakukan penyiksaan diadili dengan mekanisme Pengadilan Hak Asasi Manusia, bukan Mahkamah Militer. Mereka meragukan proses penyidikan bisa akuntabel melalui Mahkamah Militer.

Secara hukum, menurut mereka, kekerasan yang terjadi di dalam video Youtube jelas merupakan tindakan interogasi yang menggunakan kekerasan (baca penyiksaan). Penyiksaan masuk dalam kategori pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 UU nomor 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan UU no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, di mana di pasal 9 disebutkan bahwa Penyiksaan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Selain itu, kata mereka, secara konteks, upaya UU peradilan militer tidak bisa diberlakukan mengingat memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, penyiksaan tidak diakomodir pengaturannya di dalam KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer). Kedua, UU Peradilan Militer sangat dominan diintervensi oleh Panglima TNI.

"Dengan kata lain tidak ada independensi Hakim dan aparat hukumnya," ujar Haris Azhar (KontraS), Sinal Blegur (Foker LSM Papua), Andi K Yuwono (Perkumpulan Praxis) dan Heni Lani (Aliansi Mahasiswa Papua) dalam pernyataan bersama yang diterima VIVAnews, Kamis 4 November 2010.

Ketiga, mekanisme Peradilan Militer tidak memberikan ruang pemantauan dan keterlibatan masyarakat dan korban secara baik (unfair). "Kami khawatir jika mekanisme Permil yang dikedepankan maka hanya akan menghukum aparat-aparat lapangan belaka. Tidak ada pertanggung jawaban komando atas peristiwa-peristiwa kekerasan di Papua dan tidak bisa mengkoreksi kebijakan pengamanan yang berimplikasi buruk pada situasi di Papua," ujar mereka.

Dalam catatan hasil pemantauan KontraS yang juga disebutkan dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa peristiwa penyiksaan terhadap warga di Tinggi Nambut Papua merupakan peristiwa berulang dengan metode penyiksaan yang sama.

Sebelumnya, seorang aktivis Yawan Manase Wayeni dibunuh setelah mengalami penyiksaan pada tanggal 13 Agustus 2009 di Serui, dan Pembunuhan Opinus Tabuni pada peringatan hari pribumi internasional, 9 Agustus 2008 di Wamena. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian kecil dari daftar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua dan tidak melalui proses pengungkapan yang berkeadilan bagi korban dan keluarganya.

Namun demikian, para LSM ini mengapresiasi langkah cepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerintahkan pengungkapan peristiwa penyiksaan yang dialami warga di Tinggi Nambut Papua, sebagaimana yang didokumentasikan lewat video yang beredar di Youtube. Perintah Presiden ini diisyaratkan dengan rencana pengadilan kepada lima anggota TNI Kodam XVII/Cenderawasih yang menjadi pelaku penyiksaan ke Mahkamah Militer, Jayapura, Papua, pada hari ini.

"Kami meminta Presiden SBY hendaknya mengubah kebijakan dasar penyelesaian masalah Papua melalui dialog konstruktif yang mengedepankan pembangunan kesejahteraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi warga Papua. Presiden harus segera memastikan kebijakan dengan pendekatan keamanan harus segera dikurangi. Secara khusus terkait kasus video Youtube, Termasuk meminta Komnas HAM membentuk Tim Penyelidik Pelanggaran HAM di Papua terutama atas peristiwa di Tinggi Nambut dan Serui dan membawa kedua kasus ini ke Pengadilan Hak Asasi Manusia," ujar mereka.

"Kami khawatir, perintah Presiden untuk mengungkap peristiwa ini hanya sebagai tindakan parsial menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard," ujar mereka. Kedua Negara ini memiliki peranan cukup penting dalam proses reformasi sektor keamanan di Indonesia. Dukungan kedua Negara ini selalu menyaratkan penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM yang dilakukan oleh aktor keamanan di Indonesia.

Sumber: http://nasional.vivanews.com/news/read/186704-lsm-desak-tni-penyiksa-diadili-dengan-uu-ham

Selengkapnya...

“AKSI PERKABUNGAN NASIONAL BANGSA PAPUA BARAT”

Mari Opa, Oma, Bpk/ibu, Sdr/I Bergabung Dalam
“AKSI PERKABUNGAN NASIONAL BANGSA PAPUA BARAT”
Antara tgl 8, 9, 10, 11 Novemver 2010


“Atas dasar prinsip Solidaritas, Persamaan HAK, Demokrasi, Keadilan, Kebenaran, Kejujuran dan Kedamaian, maka mari kita mendesak Amerika Serikat, Belanda, RI & PBB Untuk Menebus Kesalahan Masa Lalu Terhadap Bangsa Papua”

Pencaturan politik tingkat tinggi telah dimainkan oleh Negara Indonesia dibayang-bayangi oleh Amerika Serikat dalam mencaplok kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI. Distrorsi sejarah politik Papua Barat telah melahirkan dua masalah baru, yakni pelanggaran HAM termasuk pengancuran tanah (investasi) dan ketidak-adilan dalam pelbagai aspek bidang pembangunan, termasuk kegagalan implementasi UU OTSUS Papua yang kini menjadi lambang kejahatan kemanusiaan manusi Papua.

Pada tanggal 9 s/d 10 November 2010, kepala negara Amerika Serikat (presiden Barack Obama) akan berkunjung ke Indonesia. Untuk menyikapi kedatangannya, pelbagai komponen bangsa Papua telah membentuk wadah taktis Solidaritas Nasional Bangsa Papua Untuk Obama (SONABPO). Kami mengajak bpk/ibu, sdr/I untuk bergabung dalam aksi damai yang akan berlangsung antara tanggal, 8 s/d 11 November 2010.

Aksi Damai ini untuk Jayapura & sekitarnya, dipusatkan ke Kantor DPRP. Titik kumpul Massa; Wilayah Sentani: Di Taman Makam Theys; Ekspo dan Sekitarnya: Di Ekspo; Perumnas III: Di Putaran Taksi; Padang Bulan dan Sekitar: Di Depan Kantor Kelurahan Hedam; AB dan Sekitarnya: Depan Kantor Pos; Kamkei dan Sekitarnya: Lampu Merah Kamkey; Kota Raja dan Sekitarnya: Halaman Kantor MRP; Entrop: Di Depan PTC; Hamadi dan sekitarnya: Pasar Ikan; Polimak: di Lingkaran Tasangka Pura; Jayapura Kota dan Sekitarnya: Taman Imbi. Dok 9 dan sekitarnya: di Yapis.

Berdasarkan pengalaman bahwa walaupun ada surat pemberitahuan aksi damai, namun pihak kepolisian selalu menghadang massa aksi damai, maka sebelum dua/tiga hari pelaksanaan aksi damai, diharapkan massa aksi damai dari luar kota Jayapura datang tinggal bersama di keluarga terdekat yang tinggal di kota Jayapura. Kekuatan kita adalah persatuan kita. Trimakasih.

Pusat Koordinasi: Selpius Bobii (081248723807).
Catatan: Tolong Foto Copy dan Disebarkan ke Sesama Anda****

Selengkapnya...

Penyiksaan Warga Puncak Jaya: DAP Tak Yakin Pengadilan Militer Tegakkan Hukum

Mengadilan ini bukan soal video yang ramai dibicarakan: 30 Mei 2010. Ia soal video lain yang direkam pada Maret 2010. Korban2 ada lebih dari 10 orang.Ada kekerasan namun tidak sesadis video Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire.
Sebuah video yang beredar di situs Youtube ”menggedor jendela kamar tidur” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah bersuara, meski terlambat dan tidak memberikan dampak berarti.

Video itu berisi rekaman penyiksaan warga Papua oleh personel TNI di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. Video yang sempat beredar di Youtube 17 Oktober 2010 itu memperlihatkan warga Papua, Anggen Pugu Kiwo (50 tahun), dianiaya. Kepala Anggen diinjak. Tubuhnya disundut bara api. Tentara menuduh Anggen anggota Organisasi Papua Merdeka.

Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh mengatakan, citra Presiden dipertaruhkan akibat beredarnya rekaman video Tingginambut. ”Jelas citra politik Presiden terganggu dengan kasus ini,” kata Ridha, seusai menerima pengaduan staf Dewan Adat Papua, Markus Haluk, Jumat (5/11).

Markus Haluk mengadu ke Komnas HAM, karena 4 personel TNI tersangka penganiayaan hari ini disidang di Pengadilan Militer III-19 Kodam XVII Cenderawasih, Jayapura. Masyarakat Papua tidak percaya keadilan dapat tegak di Pengadilan Militer.

”Berdasarkan pengalaman, tiap kasus di Papua yang dilakukan TNI atau Polri, (pelakunya) bebas dan naik pangkat. Ada kasus tahun 2000 yang diadili di pengadilan HAM di Makassar, pelakunya bebas,” kata staf Dewan Adat Papua Markus Haluk.

Selain menyampaikan pengaduan, Markus Haluk menyerahkan video kesaksian Anggen Pugu Kiwo. Markus meminta Komnas HAM mendesak pemerintah menggelar pengadilan ad hoc HAM untuk mengadili tentara yang diduga menyiksa Anggen.

”Komnas HAM jangan hanya melakukan penyelidikan. Komnas datang, pulang, dan diam. Kami berharap kasus ini diusut sampai menemukan siapa aktornya. Siapa yang bermain. Usut tuntas!” ujar Markus yang juga Sekretaris Jenderal Komite Nasional Papua Barat.

Video kesaksian Anggen berisi kronologi penyiksaan. Anggen dalam perjalanan dari Tingginambut ke Distrik Mulia ketika bertemu personel TNI di pos Kwanggok Nalime, Kampung Yogorini. Mereka diinterogasi dan dipaksa mengaku anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).

”Ah, ko (kau) tipu, ko harus jujur jawab (kalau) ko OPM to?” kata Anggen dalam video kesaksian, menirukan interogasi para tentara. ”Kami ditekan terus sehingga bingung. Mau bicara sudah kaku dan gemetaran.”

Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh mengaku akan menunjukkan video kesaksian Anggen dalam rapat paripurna Komnas, selasa pekan depan. Keputusan soal rekomendasi pengadilan ad hoc HAM, akan ditentukan dalam rapat tersebut. ”Saya akan putar video ini,” katanya.

Menurut Ridha, penyelidikan Komnas HAM mengindikasikan adanya dugaan pelanggaran HAM secara sistematis di Papua. ”Diduga ada perintah. Kami menemukan aparat TNI, Kostrad, Koppassus, Brigade Mobil, dan Detasemen Khusus 88 Antiteror di lapangan. Pasukan ada di sana, tidak mungkin tanpa atasan.”

Terdakwa kasus penganiayaan warga di Puncak Jaya adalah 4 personel Satuan Tugas Pengamanan Rahwan Yonif 753/Arga Vira Tama Nabire. Mereka adalah, Komandan Pos Letnan Dua Inf Cosmos, Prajurit Kepala Syaiminan Lubis, Prajurit Dua Joko Sulistiono, dan Prajurit Dua Dwi Purwanto (E1)

Hasil penyelidikan Komnas HAM tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua selama 2004-2010:

2004: 7 tewas dan 4 luka
2005: 5 luka
2006: 2 tewas
2007: 1 tewas
2008: 8 kasus perampasan di 10 kampung
2009-2010: 11 kasus perampasan di 6 kampung

Sumber: http://vhrmedia.com/DAP-Tak-Yakin-Pengadilan-Militer-Tegakkan-Hukum-berita6450.html

Selengkapnya...

Ketua DPRP Papua, John Ibo: Jangan Tuduh Kami Separatis

*Pembahasan Raperdasus 11 Kursi Dead lock karena Ada Anggota DPRP Dituduh Separatis

Pembahasan Raperdasus 11 Kursi DPRP dilaporkan mengalami dead lock lantaran ada anggota DPRP yang dituduh separatis, mendapat reaksi keras dari Ketua DPRP Drs John Ibo MM. “Sebagian kecil saya me­nganggap anak kecil yang berbicara tentang separis koq di dengar. Siapa separatis disini.

Jangan tuduh kami separatis sepanjang kami bekerja matian- matian untuk menegakan NKRI di Papua,” ujarnya sembari tersenyum usai menghadiri penandatangan Nota Kesepakatan Pendirian Kantor DPD RI Provinsi Papua di Jayapura di Hotel Aston, Jayapura, Selasa (2/11) kemarin.

Politisi senior Partai Golkar ini menandaskan, pihaknya tak terlalu peduli terhadap sebagian kecil orang menuduh DPRP separatis. Apa buktinya kalau DPRP dituduh separatis. Pasalnya, DPRP dilantik dibawah sumpah janji jabatan dan dibawah UUD 1945. Setiap kader yang duduk menjadi wakil rakyat adalah perwakilan partai. Partai seluruhnya milik Indonesia dan partai memiliki platform.

Kalau ada kader partai yang tak menjunjung tinggi asas partai direcall saja. “Apa yang ditakuti apa harus tempatkan 11 kursi dalam proses demokrasi kalau kita pasang 11 kursi anak anak Papua asli yang merah putih, mereka tak mungkin menang suara kalau DPRP mau mbalelo. 65 dibanding 12 mana bisa menang dalam proses pengambilan keputusan melalui voting,” katanya.

Dia mengatakan, apabila Mahkamah Konsitusi (MK) memberi toleransi untuk menetapkan 11 kursi DPRP ia berharap MK tak boleh mengunakan kuasa tapi ia harus menggunakan asas yang betul dalam negara hukum.

“11 kursi sebenarnya telah digunakan dan anggota DPRP hanya 45 ditambah 11 jadi 56 koq tambah 11 lagi kan yang bertambah disitu bukan 1/4 tapi 2/4. Ini salah besar jadi kita sepertinya diintervensi oleh kekuasaan,” tukasnya. (mdc)

Selengkapnya...

DPRP : TNI/ Polri Jangan Cari Pangkat Di Papua

Ruben Magai Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Papua menyatakan aparat Tentara Nasinal Indonesia (TNI) serta Kepolisian jangan menjadikan daerah Papua sebagai lahan untuk mencari kenaikan pangkat.

“Jangan hanya melakukan pelanggaran di Papua dan di pindahakan untuk naik pangkat di tempat lain” kata Ruben, Senin (1/11)

Ruben menjelaskan selama ini banyak pelangaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan TNI/ Polri kepada rakyat sipil di Papua, namun proses penanganannya tidak teratasi hingga saat ini.

Para pelakunya tidak pernah diungkapkan. Pemimpin TNI/ polri yang sementara bertugas bisanya langsung dipindahkan atau dipensiunkan dan mendatangkan pemimpin baru. Sehinga persolan-persolan tersebut terus terbaikan.


Pihaknya akan menyarankan kepada pemerintah agar kedepan penempatan pimpinan TNI/Polri di Papua adalah mereka yang belum dekat pensiun dan punya hati untuk menyelesaikan masalah di Papua bukan asal naik pangkat.

Selain itu, dia menyarankan rakyat Papua mempublikasikan setiap video-video atau gambar-gambar serta informasi kekerasan dan pelangaran HAM yang selama ini terjadi secara trasparan kepada publik.

“Lain kali kalau ada video atau gambar kekerasan silahkan putar di gereja, kantor-kantor serta seminar-seminar agar diketahui oleh publik” ujarnya. (Yarid AP).

Sumber: www.tabloidjubi.com

Selengkapnya...

Obama Harus Bertemu dengan Rakyat Papua

Buchtar Tabuni Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat, melalu peryataan tertulisnya mengatakan kedatangan Barack Obama Presiden Amerika Serikat ke Indonesia nantinya, harus difasilitasi pemerintah agar dapat betemu dengan rakyat Papua secara langsung untuk membicarakan masalah status politik bangsa Papua barat.

“Dewan Perwakilan Rakyat Papua harus menfasilitasi rakyat papua untuk bertemu dengan Obama” kata Mako Tabuni mengutip peryataan Buchtar, Kamis (04/11)

Pihaknya menyatakan Pemerintah Negara Republik Indonesia juga tidak usah melakukan berbagai upaya untuk menutup akses adanya pertemuan langsung antara rakyat Papua dengan Barack Obama. Karena jika tidak demikian persolan dan situasi Papua kedepannya akan semakin rumit.

Selain itu, Obama Juga harus bertangung jawab terhadap segala macam penindasan serta penghisapan kekayaan serta pelangaran Hak Asasi Manusia yang selama ini telah terjadi di Papua, secara langsung terkait proses penyelesaian konflik Papua, meninjau kembali proses aneksasi serta Pepera yang telah dilakukan beberapa tahun lalu, karena masih cacat hukum hingga saat ini.

Peryatan tersebut disampaikan untuk menyikapi rencana kedatangan Obama ke Indonesia pada tanggal 9 sampai dengan 10 November tahun ini. Dijadwalkan, Obama akan berkunjung di beberapa lokasi di Pusat ibu kota Negara, tanpa mengunjungi daerah-daerah yang lain termasuk Papua. (Yarid AP).

Sumber: www.tabloidjubi.com

Selengkapnya...

KNPB : Rakyat Papua Menolak Negara Federal

Mako Tabuni Juru Bicara Komite Nasional Bangsa mengatakan sebagai media nasional yang selama ini bersama rakyat menuntut Hak kemerdekaan bagi bangsa Papua menolak degan tegas adanya rencana pemberlakuan Papua sebagai Negara Federal dalam Kesatuan Negara Indonesia.

“Kami menolak konsep Negara Federal bagi bangsa Papua, karena itu pasti masih terkait dengan skenario pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia” kata Mako, Kamis (04/11)

Pihaknya menyatakan, Mekanisme Dialog Nasional antara Papua dan pemerintah Indonesia harus melalui mekanisme dialog internasional. Sehingga pemerintah Indonesia serta pihak Internasional yang selama ini terkait konflik status politik bangsa Papua segera mengambil langkah kongkrit melalui mekanisme referendum.

Menurutnya berbagai mekanisme yang telah diusulkan di atas sangat penuh dengan aspek politik serta skenario kepentingan dan ada banyak kemungkinan akan terjadi ketidakadilan serta banyak pelangaran lagi yang dapat merugikan masa depan bangsa Papua.

“Referendum solusi mutlak bagi masalah Papua dan Indonesia yang sangat demokratis” ujarnya.

Peryataan ini disampaikan dihadapan ratusan masyarakat Papua yang telah melalukan aksi demo damai di kantor Dewan Perwakilan Rakya Papua, di sela-sela orasinya. (Yarid AP)

---------------
Sumber:www.tabloidjubi.com


Selengkapnya...

Peluncuran Buku IPWP dan Peradilan Makar

Buku dengan judul “International Parliamentarian for West Papua dan Peradilan Makar “ resmi diluncurkan pada (1/11) di aula Sekolah Tinggi Theologi Isak Semuel Kijne, Jayapura, Papua.

Buku tersebut ditulis oleh Sendius Wonda dan Markus Martinus Haluk untuk mengungkap berbagai peradilan makar yang telah terjadi di Papua. Baik kasunya maupun proses penanganannya yang selama ini sangat di poltisir.

Markus mnenyatakan, buku ini tidak mencatat pikiran serta analisis orang, tetapi mencatat fakta-fakta yang selama ini dilakukan Negara Indonesia bagi rakyat Papua dengan tuduhan separatis dan makar.

“Buku ini merupakan laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan peradilan makar selama ini yang tidak konsisten” kata Markus.

Dalam buku tersebut penulis hanya mengungkit dua tokoh tahanan politik Papua dari sekian banyak yang ada, yakni Sebby Sambom dan Bucthar Tabuni dengan proses penanganan serta tuntutan kasus makar yang telah didakwakan kepada mereka yang dinilai tidak konsisten.

Haluk menambahkan, tujuan adanya buku tersebut untuk menegakan keadilan sebenarnya dalam menagani serta mengantisipasi tuduhan-tuduhan makar kepada rakyat Papua nantinya.

Peluncuran buku tersebut, dihadiri ratusan warga Papua, serta para tokoh-tokoh adat, gereja dan Pimpinan – Pimpinan organisasi perjuangan keadilan bagi rakyat Papua lainya. (Yarid AP)

Selengkapnya...

Inilah Deklarasi Kepemimpian Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat

Beberapa pimpinan lokal di Papua mendeklarasikan Demokrasi kepemimpinan kolektif nasional bangsa Papua barat, Kamis (4/11). Deklarasi tersebut bertujuan menyatukan sejumlah organisasi dan OKP lainnya yang berjuang untuk masyarakat pribumi.

Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yebosembut menyatakan, kepemimpinan kolektif nasional bangsa Papua Barat ini akan membicarakan persoalan yang berkaitan dengan bangsa. Organisasi lainnya yang sudah terbentuk seperti Dewan Adat Papua (DAP) dan Presidium Dewan Adat Papua (PDP) tetap bekerja dibidang lain sesuai dengan agenda yang sudah ditetapkan.

Organisasi-organisasi lokal yang lain tetap bekerja sesuai dengan tugas mereka. Tapi masalah yang ada kaitannya dengan bangsa maka harus dibicarakan bersama melalui Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat. “Kepemimpian Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat terbentuk untuk memperjuangkan aspirasi Merdeka yang diingikan rakyat,” ujar Pendeta Herman Awom.

Deklarasi tersebut selain bertujuan menyatukan sejumlah organisasi dan OKP lainnya yang berjuang untuk masyarakat pribumi, tapi juga sebagai proses persatuan perlawanan rakyat bangsa Papua telah mencapai level yang lebih progresif dengan terbentuknya aliansi-aliansi dari berbagai pilar organisasi politik pendukung. Tak hanya itu, deklarasi itu juga dilakukan berdasarkan lokakarya bersama yang dilaksanakan sejak 25 – 26 oktober lalu di Aula Santo Yosep, Sekolah Tinggi Filsafat Teologia (STFT) Fajar Timur di Abepura.

Deklarasi Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat diikuti oleh beberapa lembaga lokal di Papua, diantaranya, Dewan Adat Papua (DAP), Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (WPNCL) dan Konsensus Nasional Papua (KNP). (Musa Abubar)

Sumber: www.tabloidjubi.com
Selengkapnya...

Penambangan Emas di Degeuwo Pasok Ratusan PSK

Dewan Adat Papua mengecam penambangan emas di Degeuwo, Kabupaten Paniai. Tambang tersebut telah meresahkan warga dan tidak memberi untung yang cukup bagi pembangunan.

Tambang emas Degeuwo dibuka tahun 2003 dan dikelola secara tradisional oleh warga. Konflik pendudukan lahan mulai terjadi tahun 2004, setelah masuk perusahaan swasta berskala besar.

“DAP sudah memberi peringatan berkali-kali agar penambangan itu ditutup, jika saat ini dihentikan sementara waktu, tentu itu sangat baik. Penambangan itu telah merusak lingkungan dan tidak memperhatikan keselamatan kerja,” kata Forkorus Yeboisembut, Ketua DAP, Senin(1/1)

Forkorus mengatakan, di Degeuwo juga dimasukan ratusan Pekerja Seks Komersial yang dididatangkan dari luar daerah. “Ini sangat berbahaya bagi generasi muda disana, kami prihatin para PSK itu dimasukan dalam wilayah tambang,” ujarnya.

DAP meminta agar pemerintah membuat regulasi untuk menertibkan penambangan emas di Degeuwo. “Ini penting untuk menjawab keluhan masyarakat atas tanahnya yang digunakan sebagai ladang tambang.”

Sebelumnya Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) di Jayapura meminta pemerintah Nabire menutup Degeuwo karena dapat mengancam lingkungan. ALDP menilai penambangan di Degeuwo bisa merenggut nyawa akibat dilakukan tanpa pengamanan yang memadai.

Sementara itu Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Paniai menyatakan penambangan emas di wilayah itu tanpa sepengetahuan pemerintah. Sekretaris Komisi C DPRD Paniai, Maksimus Takimai saat meninjau Kali Degeuwo, lokasi penambangan, menyesalkan makin maraknya kegiatan penambangan emas tersebut.

“Yang disesalkan juga adalah, penambangannya itu berada di wilayah Kabupaten Paniai. Tapi kemudian dianggap masuk wilayah Nabire, ini mestinya dipersoalkan juga sebagai pencurian kekayaan alam milik kabupaten lain,” kata Takimai. (Timo Marten)

Sumber: www.tabloidjubi.com

Selengkapnya...

Rabu, November 03, 2010

Imparsial: 290 Kekerasan Aparat di Papua Dibiarkan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dituntut memerintahkan kepada Panglima TNI dan Kapolri agar memberikan perlindungan kepada para pembela HAM (Hak Asasi Manusia), khususnya yang berada di daerah konflik seperti Papua.

Diharapkan, petinggi institusi keamanan nasional itu dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan memproses laporan-laporan kekerasan di Papua serta menindak tegas para pelakunya.

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, menilai pemerintah tidak pernah menanggapi secara serius terhadap setiap laporan para pembela HAM yang menyebut di Papua masih sering terjadi kekerasan oleh aparat terhadap sipil.

Ia mencontohkan, laporan sejumlah organisasi HAM di Papua dan Jakarta pada Mei 2008. Dalam laporan itu, setidaknya ada 290 kasus penyiksaan aparat militer dan kepolisian di Papua pada kurun waktu 1997-2007.

"Tetapi, hingga saat ini tidak pernah ada upaya pemerintah untuk menindaklanjuti laporan tersebut," ucap Poengky dalam siaran persnya, Jumat (22/10/2010) di Kantor Imparsial, Jalan Slamet Riyadi, Jakarta Timur.

Ketidakseriusan pemerintah ini terus berlanjut setelah beredarnya video penyiksaan yang diduga dilakukan aparat Brimob terhadap Yawan Wayeni dan penyiksaan oleh aparat TNI AD di Puncak Jaya baru-baru ini.

Sebelumnya, Imparsial, SKP Jayapura, Sinode GKI Papua, Progressio, dan Franciscans International pernah menyampaikan Laporan Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007 kepada pemerintah Indonesia, Special Rapporteur Anti Penyiksaan Manfred Nowak dan Komite Anti Penyiksaan PBB.

"Presiden perlu memerintahkan jajarannya untuk menghapus penyiksaan di Indonesia demi melaksanakan rekomendasi Komite Anti Penyiksaan PBB," imbuh Poengky.

Guna percepatan pemrosesan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, Imparsial berharap Komnas HAM dan Kejaksaan Agung bisa bekerjasama dengan baik.

Ini penting agar kasus-kasus semacam itu, termasuk kasus Wasior-Wamena yang hingga saat ini masih menggantung, dapat segera dituntaskan.

Komnas HAM, lanjut Poengky, perlu dilibatkan dalam investigasi kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan oleh aparat militer, polisi dan intelijen. "DPR sebaiknya mengawasi kinerja aparat kepolisian, militer dan intelijen dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM," terang dia.
---------------------------
Sumber:www.kompas.com

Selengkapnya...

Buntut Video Penyiksaan TNI: Djoko Bantah Operasi Militer di Papua

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto membantah bahwa pemerintah telah melakukan operasi militer diam-diam di Papua sejak tahun 2004, seperti yang disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

"Tidak benar seolah negara masih lakukan operasi militer," kata Djoko kepada para wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (22/10/2010).

Didampingi Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Djoko mengakui kebenaran video kekerasan berjudul "Indonesia Military Ill-Treat and Torture Indigenous Papuans" yang ditayangkan YouTube sejak Sabtu lalu.

Ditekankan Djoko, pemerintah menekankan pendekatan kebijakan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dalam mengelola Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam. Ke depan, Djoko mengatakan, perlu pembekalan kepada para prajurit TNI soal tugas mereka di Papua.

"Perlu ditekankan, fokusnya adalah bagaimana keberadaan mereka di sana dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, bukan malah menimbulkan rasa antipati masyarakat terhadap TNI. Jadi, TNI bisa membangun desa, menjadi guru, membangun kampung," kata Djoko.

Ketua Komnas HAM Ifhdal Kasim mengatakan, peristiwa penyiksaan yang termuat dalam video tersebut bukan terjadi satu atau dua kali. Berdasarkan catatan Komnas HAM, pada 2010, ada 11 kasus kekerasan di Puncak Jaya. "Memang ada pelanggaran hak asasi manusia di sana semenjak penambahan pasukan tersebut, yaitu penyiksaan, pembunuhan, penangkapan, dan pengusiran secara paksa," katanya.
---------------
Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2010/10/22/1248124/Djoko.Bantah.Operasi.Militer.di.Papua-4
Selengkapnya...

Empat Tentara Diperiksa Terkait Penganiayaan Warga Papua

Empat prajurit Tentara Nasional Indonesia diperiksa terkait kasus penganiayan terhadap warga Papua, di Puncak Jaya. Kodam XVII Cenderawasih menyatakan pemeriksaan dilakukan untuk mencari motif dan alasan terjadinya penyiksaan tersebut.

Sebelumnya, beredar luas tayangan video di YouTube yang menunjukkan beberapa warga Papua disiksa sejumlah orang berpakaian loreng dan membawa senjata.

“Sudah ada tim khusus dari Mabes TNI yang datang melakukan penyidikan atas kasus tersebut. Sekurangnya ada empat yang diperiksa, tapi itu bisa saja berkurang dan bertambah tergantung prosesnya nanti,” kata Kepala Penerangan Kodam XVII Cenderawasih Kapendam Letnan Kolonel Infanteri Susilo, saat dihubungi Tempo, Jumat (22/10) malam.

Susilo mengatakan, pemeriksaan akan dilakukan secepat mungkin dan selanjutnya dilaporkan ke Markas Besar TNI. Susilo tak dapat menyebut nama pelaku dengan alasan masih dalam pemeriksaan. “Yang pasti mereka sudah diinterogasi. Untuk nama-nama mereka belum bisa dipublikasikan. Sementara untuk target waktu pemeriksaan, kita hanya berharap dapat secepatnya selesai,” ujarnya.

Dari hasil pemeriksaan nanti, akan diketahui apakah benar anggota TNI menganiaya atau tidak. “Karena pasti ada sebabnya. Mungkin saja karena terlalu lama di sana, atau bisa karena faktor lain. Tapi ini hanya perkiraan saja, saya tidak ingin memastikannya.”

Video penyiksaan tersebut memperlihatkan seorang lelaki Papua yang mengenakan kaos oblong ditidurkan di tanah dan diinjak. Warga Papua itu juga diancam dengan parang di lehernya. Selang beberapa lama seorang di antara penyiksa mengambil sebatang kayu yang masih mengepulkan asap dan membakar alat kelamin korban. Penyiksaan dilakukan untuk mencari tahu tempat penyimpanan senjata milik Organisasi Papua Merdeka.

Video tersebut pertama kali dipublikasikan sebuah lembaga yang menamakan dirinya Asian Human Rights Commission. Dalam salah satu bagian video tersebut, lembaga ini menuliskan, "Indonesia ratified the United Nations Convention Against Torture in 1998, but has still not stopped using torture".

---------------------
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2010/10/22/brk,20101022-286635,id.html
Selengkapnya...

Perwira TNI Diduga Terlibat Penyiksaan di Puncak Jaya

Seorang perwira TNI dengan inisialial Letda Css, diduga terlibat dalam kasus penyiksaan di Puncak Jaya, Papua. Css bersama empat Tamtama lainnya, Praka Shn, Pratu Ihk, Prada Js dan Prada Ok, dituduh telah menyiksa dua warga Papua seperti yang terlihat dalam video penyiksaan di situs Youtube.


“Kita berharap mereka dapat hukuman yang pantas,” kata Matius Murib, Wakil Ketua/Sub Komisi Pemantauan dan Mediasi, Komnas HAM Papua, Rabu (3/11).

Menurutnya, dengan diadilinya kelima pelaku tersebut, setidaknya dapat membuka pintu bagi penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM di Puncak Jaya yang hingga hari ini belum kelar. “Ini sangat baik bagi penegakkan HAM di Papua, namun kami berpikir sebaiknya mereka disidangkan di pengadilan HAM, bukan dipengadilan militer,” ujarnya.

Sebelumnya lima tersangka tersebut diperiksa tim khusus Mabes TNI di Jakarta. “Mereka saat ini sudah ada di Jayapura,” kata Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih Letkol Inf Susilo.

Kasus kelima tersangka tersebut sudah dimasukkan ke Odmil (Oditur Militer). Mereka tinggal menunggu sidang serta pemberian sanksi hukum sesuai KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer).



“Kesaksian tersangka dan pengakuan mereka sudah dapat membawa kelimanya ke ranah hukum untuk diproses sesuai hukum yang berlaku, pasti ada hukuman yang pantas buat mereka,” ujarnya.

Terkait pelaku penyebar video kekerasan tersebut, Susilo mengatakan tak mengetahuinya. “Yang jelas di sini ada campur tangan oknum yang tidak suka TNI di Papua, jadi sepertinya TNI itu buruk.”



------------------

Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/11/03/brk,20101103-289125,id.html

Selengkapnya...

Sabtu, Oktober 23, 2010

SEORANG MAHASISWA PAPUA DIKABARKAN HILANG TERBUNUH

IDENTITAS LENGKAP KORBAN
NAMA LENGKAP : RICKYABRAHAM ZONGGONAU
UMUR : 22 tahun
TTL : Wadio,23 Setember 1988
ALAMAT : AIKAI ENAROTALI KABUPATEN PANIAI

PEKERJAAN : Mahasiswa AKPER Kab. Paniai
kronologinya: Pada hari jum’at tanggal, 15-10-2010 jam, 09 malam. Rikcy bersama dengan empat temannya bercanda gurau didepan gudang generator PLN Kabupaten paniai lewat beberapa menit kemudian ada dua motor datang menghampiri mereka, yang naik motor ada empat orang. Empat orang tersebut adalah Anggota TIMSUS TNI 753 yang bertugas di Paniai.

"ada saat empat orang itu datang kami tinggal saja begini tiba-tiba mereka langsung koken senjata ( siap tembak) kami empat orang lari tapi kami punya teman ini tidak lari dia tinggal disitu saja jadi waktu itu kami tidak tau sama sekali kalau nanti jadi begini karena kami tidak punya masalah dan pada waktu keempat temannya melarikan diri ricky sendiri saja yang berhadapan dengan keempat orang yang berstatus anggota TNI, dan seterusnya apa yang terjadi pada malam itu keempat temannya tidak tau.

Namun ada saksi lain yang mengatakan bahwa "pada saat itu saya lewat disitu pakai motor kemudian saya lihat ada orang terbaring di kebun disamping rumah bapak SINAGA yang jarak dari gudang PLN kira-kira 25 meter posisinya bersebelahan jalan.

"Saya lihat begini itu saya punya teman namanya Ricky Zonggonau posisisnya kepalah masuk dilumpur, kedua tangannya di belakang dan kakinya diatas rumput-rumput saya mau turun angkat tetapi disitu ada orang sembunyi sambil tunduk-tunduk tapi saya lihat itu jelas ada orang yang ada perhatikan saya dari rumput-rumput dan saya kasitinggal baru saya pergi cari teman-teman untuk anggkat Ricky untuk bawah pulang, kemudian saya dengan teman-teman datang di tempat itu tetapi Teman Ricky tidak ada disitu jadi kami pikir Ricky sudah pulang ke AIKAI karena besok pagi dia ada praktek di RSUD madi jadi kami tidak cari dia" ungkap JT.

Keluarganya sudah mencari kemana-mana bahkan ke kepolisian namun jawabanya adalah Ricky menghilang disaat itu dan pelakunya jelas adalah TIMSUS TNI 753, dan ditempat kejadian.

"kami bersama kepolisian menemukan ada bukti bekas sepatu laras dan tempat korban terbaring pertama kali namun jazadnya tidak ditemukan" sambung JT.

Saat ini kepolisian stempat memanggil semua saksi yang menyaksikan kejadian pada malam itu untuk dimintai keterangan secara jelas. Sampai saat ini pas satu minggu Ricky Zonggonau belum kembali kerumah apalagi kekampus atau pergi ke RSUD, bagai ditelan bumi. [R0n]****

Selengkapnya...

Hip Hop Perlawanan demi Papua Merdeka


Perjuangan menuju Papua merdeka dari Indonesia tidak hanya digelar lewat senjata dan diplomasi, tetapi juga lagu.

Sebagaimana video kekerasan aparat terhadap rakyat Papua yang mencoreng reputasi Indonesia, lagu perjuangan dari Papua kali ini juga disebarkan melalui situs YouTube.

Lagu dalam video berdurasi 2,53 menit itu diberi keterangan sebagai "The Sound of Freedom from the next generation of West Papua.!!! Papua merdeka.!!!!"

Ilustrasi visualnya berupa foto seputar seremoni gerakan Papua merdeka, tetapi juga ada yang ironis. Lirik dalam lagu yang dikemas beraliran hip hop itu mengutuk bukan saja Indonesia, melainkan juga Belanda dan Amerika Serikat.

"(XXXX- diedit) Indonesia sama saja dengan Pemerintah Belanda. Torang dua mau diam-diam bunuh saya," demikian bunyinya. Torang adalah kependekan "kita orang" dalam dialek Papua.

Amerika Serikat dikutuk karena perannya dalam menjembatani sengketa antara Indonesia versus Belanda dalam memperebutkan Papua barat. "Amerika, Belanda, Indonesia. Kamu dulu jual torang, ya? 15 Augustus 62, ya? Di New York, heh?" demikian olok-olok di lagu itu.

Tanggal 15 Augustus 1962 merujuk pada perundingan di New York yang menyepakati penyerahan Papua Barat oleh Belanda kepada Indonesia, dengan beberapa persyaratan. Perundingan itu dikutuk separatis Papua karena tidak melibatkan wakil Papua sama sekali.

Tetapi ada ironi di ilustrasi video itu. Meski mengutuk Belanda, mereka juga merengek minta perhatian Kerajaan Belanda.

Pada video lagu itu ditampilkan poster bertuliskan, "Why are you SILENT about Indonesian GENOCIDE in WEST PAPUA?" Lantas, dilengkapi pula dengan foto jajaran kursi di gedung parlemen Belanda.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2010/10/23/04254293/Hip.Hop.Perlawanan.demi.Papua.Merdeka-14


Selengkapnya...

Selasa, Oktober 19, 2010

Pemerintah Didesak Usut Video Kekerasan Oknum TNI

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) berharap pemerintah segera mengusut kebenaran video kekerasan oleh aparat TNI pada warga Papua, yang beredar di situs youtube. “Nggak bisa hanya dijawab kalau video itu palsu,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar saat dihubungi, Senin (18/10).

Menurut Haris, jawaban yang menyatakan video tersebut palsu, tidak bisa menjawab kecemasan masyarakat akan adanya kemungkinan aparat melakukan kekerasan di daerah yang mereka jaga. “Karena keberadaan video itu sudah sangat mengejutkan masyarakat,” ujarnya.

Kontras menilai, adegan demi adegan dalam video tersebut sangat keji dan biadab, tak peduli siapa pun yang melakukannya. “Itulah kenapa pemerintah penting untuk segera mencari tahu kebenarannya. Siapa yang sebenarnya ada di video itu,” cetus Haris.

Dengan menelusuri kebenaran video, jelasnya, pemerintah akan bisa mencegah menipisnya kepercayaan publik pada aparat. “Karena kita tahu, video kekerasan oleh oknum ini kan bukan pertama kalinya.”

Sampai sekarang, Kontras belum mau menebak-nebak, apakah pelaku kekerasan dalam video tersebut benar-benar oknum TNI ataukah bukan. “Kami nggak bisa memastikan. Tapi memang yang ada di video pelakunya memakai atribut militer. Memang itu bisa dibeli. Tapi kalau dari logatnya, kami menangkap itu bukan logat penduduk setempat,” kata Haris.

Haris menjelaskan, memang ada kemungkinan terjadi kekerasan oleh oknum aparat di Papua. Ia berasumsi, semakin “tertutup” sebuah daerah oleh penjagaan aparat, maka hak jaminan kebebasan warga setempat akan semakin menipis.

Sumber:http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/10/18/brk,20101018-285592,id.html

Selengkapnya...

FOR IMMEDIATE RELEASE
PRESS RELEASE
AHRC-PRL-021-2010

INDONESIA: Video of the military torturing indigenous Papuans surfaced

(Hong Kong , October 17, 2010) The Asian Human Rights Commission (AHRC) has received video footage from sources in West Papua, who must remain anonymous for security reasons, showing the torture of indigenous Papuans by the Indonesian military (TNI). The full video can be viewed here. The AHRC has chosen to remove some of the scenes showing the burning of one of the victims’genitals.

The video was recently recorded in the Tingginambut area in West Papua . The current whereabouts of the victims in this video are unknown. The AHRC understands that both incidents in the video involved members of the Indonesian military. The first incident shows uniformed members of the Indonesian army ill-treating indigenous Papuans. The second incident also reportedly involves members of the army committing grave abuses.

"This is only one of numerous cases of torture by the military in Papua that has been reported to us," explained Wong Kai Shing, Executive Director of the AHRC. "The Indonesian government must adopt a zero-tolerance policy concerning torture, as recommended by the United Nations (UN) Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, Dr. Manfred Nowak" he continued.

Indonesia ratified the UN Convention Against Torture in 1998, but acts of torture continue to go unpunished. As a result, torture is in fact encouraged as a mean of interrogation and intimidation by the police and the military.

The military enjoys special immunity, since its members cannot be held accountable in civilian courts. Military courts are known to give at best only lenient punishments for serious human rights violations, and often do not punish those thought to be responsible at all.

The Indonesian military regularly runs so-called sweeping operations including the burning of village houses, killing of livestock, arrests and other forms of intimidation in areas where separatists are suspected of being located.

"The people who suffer most from anti-separatist sweeping operations by the military are innocent civilians" Wong Kai Shing reminded. "The Indonesian government has to ensure impartial investigations into the cruel acts of violence portrayed in this video. All perpetrators have to be brought to justice" he said.

The government of Indonesia has deployed a significant military force in Papua, ostensibly to ensure security, but as a result numerous serious human rights violations are being committed. This approach has heightened tensions and has worsened the conflict. Repeated requests by West Papuans for dialogue under international supervision have not yet been answered by Jakarta .

West Papua comprises Indonesia ’s richest provinces in terms of resources, and the autonomy law concerning Papua effectively exists only on paper, as it has not resulted in any decrease in poverty in practice.

The repressive environment in West Papua makes human rights work very difficult for local activists. Foreign journalists and human rights organisations are not given visas to enter the region. The recent killing of a journalist in Merauke, Papua and the indiscriminate shooting at a crowd by the police that resulted in several deaths in Wamena are examples of the serious violations taking place in Papua. Several activists remain imprisoned for having peacefully voiced their political views.

It is imperative that the Indonesian government strongly condemn all acts of torture and ensure that those in the military that are responsible for the acts documented in the torture video are brought to justice for their crimes. Crimes by members of the military against civilians must be tried by civilian courts and the law must be reformed in order to ensure this.

Sweeping operations by the military, that involve indiscriminate and excessive use of force and numerous widespread human rights violations, must be halted. Policies and acts of intimidation against human rights defenders must also be put to an end and rights enshrined in the country’s constitution and its obligations under international law must be guaranteed at all times, throughout the country, including in West Papua. Beyond this, the Indonesian government should ensure that the Anti Corruption Commission (KPK) is fighting corruption in the public service effectively in Papua as a priority, in order to combat the rampant disappearance of autonomy fund budgets, in order to enable development and the improvement of life for all in West Papua .

For more information, please contact:

Wong Kai Shing, Executive Director, Hong Kong , +852 26986339

# # #

About AHRC: The Asian Human Rights Commission is a regional non-governmental organisation monitoring and lobbying human rights issues in Asia . The Hong Kong-based group was founded in 1984. Posted on 2010-10-17


http://humanrights.asia/news/press-releases/AHRC-PRL-021-2010







Selengkapnya...

Video Shows Papuans Being Tortured

westpapuamedia.info worked closely with SMH to break this story – it was released early after Papuan people released the footage on YouTube. As predicted, YouTube had removed this footage completely due to the depiction of actual sexual torture by Indonesian security forces. westpapuamedia.info is displaying the full unedited footage in the public interest.


‘‘Get a fire’’ … video posted on YouTube shows two Papuan men being tortured by apparent members of the Indonesian security services. One has a smouldering stick applied to his genitals.

A graphic and disturbing video shows a Papuan man being poked in the genitals with a fiery stick as he is interrogated by a group of men who appear to be members of Indonesia’s security services.

The video has come to light as the Indonesian government faces continuing criticism about abuses by its security forces in Papua, scene of a long simmering separatist struggle.

The Papuan man, stripped naked, bound and with one of the interrogators placing his foot on his chest, is being asked about the location of a cache of weapons. After he tells his interrogators it has been hidden in a pigpen, one of them screams at him: ”You cheat, you cheat.”

Another interrogator then yells ”get a fire, get a fire” before a colleague administers the torture with a stick that has been burnt in a fire and is smouldering. The man screams in agony, and does so again when the treatment is repeated.
The video appears to have been taken with a mobile phone by one of the interrogators, who speak Indonesian with Javanese and Ambonese accents and wear plain clothes.

While it is common for Indonesian police and military personnel to wear civilian clothing, it is impossible to verify those in the video are members of the security services.

But the nature of the interrogation suggests professionals are at work, as does a later incident shown on the 10-minute video when an M-16 rifle is pointed at the man’s mouth.

”So you want me to shoot your mouth? So your mouth breaks?” the interrogator shouts.
The emergence of the video – it was posted on YouTube three days ago by someone using the moniker papualiberationarmy and obtained independently by the Herald - will do nothing to lessen criticism of abuses by security forces in Papua.
”We have been living under Indonesia for almost 48 years,” said Victor Kogoya, a member of the central committee of the Aliansi Mahasiswa Papua, a Papuan student group. ”For all this time, we have never felt calm, never peace. Why? Because ever since the security state has been chasing us, arresting us, killing, terror and intimidation.”

Although Jakarta made an autonomy deal with the province almost 10 years ago, its indigenous Melanesian people remain the country’s poorest while migrants flood into the resource-rich area and dominate business and paid employment, further marginalising the Papuans.

There have been repeated reports of abuses by the military and police, but foreign journalists are banned from entering Papua without special permission, while non-government groups, including the International Committee of the Red Cross, have been told to leave in the past year.

Two Papuan victims are recorded in the video – one naked and being burned, while the other is clothed and has a large knife placed under his nose as he is being questioned by the men. At one point, one of the interrogators says: ”I’ll cut your throat.”

The footage is graphic, with the men hit and threatened throughout the interrogation.

The victims speak in the Papuan dialect Lani, strongly suggesting the video was filmed in Puncak Jaya, a regency in Papua’s highlands where a unit of the armed Free Papua Movement commanded by Goliath Tabuni has been staging sporadic attacks on Indonesian police and military posts for the past two years.
Numerous weapons have been stolen in the raids and at least four soldiers and police have been killed in the past two years.

Jakarta has sent members of the national police’s mobile brigade and anti-terrorism unit, Detachment 88, to the region. Both units have been accused of using excessive force.

There have been repeated allegations of security forces making violent sweeps through villages in Puncak Jaya, a region characterised by soaring mountains covered in thick jungle. The military, including its controversial special forces unit Kopassus, also has a strong presence.

Papua, which was formerly known as Dutch New Guinea, was not incorporated into Indonesia when it became a state in 1949. It was held by the Dutch until 1962 when, following Indonesian military incursions into the area, an agreement brokered through the Untied Nations gave Indonesia administrative control of the region pending a referendum.

That ”referendum” involved just 1025 handpicked tribal leaders who unanimously agreed to join Indonesia. The so-called ”Act of Free Choice” has been labelled fraudulent and remains a source of great anger for many indigenous Papuans.
While separatist sentiment remains strong, it has little international support. Australia recognises Indonesia’s sovereignty over the region. The Herald was unable to obtain a response from the Indonesian military or police late yesterday.



Nonton Video Penyiksaan: http://video.ahrchk.net/AHRC-VID-012-2010-Indonesia.html

Sumber:http://www.thejakartaglobe.com/pages/videos/?id=121632


Selengkapnya...

Aksi Pembantain TNI Terhadap Rakyat Papua Terus Berlanjut

Pada 17 Maret 2010 terjadi lagi penyiksaan terhadap 13 warga sipil di Kalome Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak Jaya, Papua Barat.

Malam, tentara Indonesia terus beroperasi dari arah Kalome ke ibu kota Distrik Tingginambut. Di daerah Lumbuk, ada satu rumah honai (rumah tradisional rakyat Papua). Warga yang menginap di rumah itu dikepung oleh militer Indonsia saat mereka tidur. Menurut saksi mata, peristiwa itu terjadi setelah peristiwa penyiksaan dan pembunuhan dua pendeta. Peristiwa itu terjadi di tempat yang sama.

Peristiwa pengepungan ini terus berlanjut dengan penyiksaan terhadap 13 orang hingga pada pukul 5 subu, Kamis, 18 Maret 2010. Penyiksaan yang mereka alami adalah penyiksaan berat dan lebih buruk lebih banyak.

Nama-nama Korban adalah Sbb:
1. Garundinggen Morib 45 Thn
2. Ijokone Tabuni 35 Thn
3. Etiles Tabuni 24
4. Meiles Wonda 30 Tahun
5. Jigunggup Tabuni 46 Thun
6. Nekiler Tabuni 25 Tahun
7. Biru Tabuni 51 Tahun Orang Tua Posisi saat Itu sakit Malaria Parah
8. Tiraik morib 29 Thn
9. Yakiler Wonda 34 Thn
10. Tekius Wonda 20 tahun
11. Neriton Wonda 19 Tahun
12. Yuli Wonda, 23 Tahun
13. Kotoran Tabuni 42 Thn



Selengkapnya...

Kronologi Membunuhan Pdt. Kindeman Gire oleh Tentara Indonesia


Militer Indonesia kembali menyiksa dan menembak mati pendeta Kindeman Gire pada pada Rabu, 17 Maret 2010 (pada pukul 15.00) waktu setempat di Kalome Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak Jaya, Papua Barat.

Kindeman adalah seorang hamba Tuhan Gembala Sidang Gereja GIDI Toragi distrik Tingginambut. Satu minggu sebelum pembunuhan korban bersama jemaat mengirim uang lewat Air Gire ke Wamena untuk membelikan bensin 15liter untuk kepentingan bela kayu bangun gereja.

Air Gire mengirim berita kepada korban agar jaga-jaga (tunggu) di jalan karena dia akan mengirimkan besin tersebut lewat kendaraan yang akan lewat agar. “Bensin saya akan titip lewat mobil yang lewat, jadi kamu tunggu mobil yang lewat di jalan. Jangan sampai kelewatan,” kata Air Gire berpesan.

Dalam waktu yang sama seorang Gembala bernama Pitinius Kogoya juga menitipkan sejumlah uang kepada seorang sopir mobil ekstrada (L200) untuk dibelikan minyak goreng di Wamena. Ketika, nanti kembali ke Puncak Jaya agar tolong dibawakan. Kogoya juga jaga dijalan untuk menunggu titipannya yang akan dibawakan dari Wamena oleh seorang sopir bernama Yakop (orang Toraja) yang sudah cukup kenal dengan P. Kogoya.

Dalam waktu yang sama Pdt. Kindeman Gire (korban) lebih awal berada di jalan menunggu kiriman. Ketika itu, Pasukan TNI Yonif 756 dari distrik Ilu lewat dan bertemu dengan korban dan bertanya kepadanya. Pertanyaan-pertanyaan intimindasi bahwa kamu tau Gorobak atau pernah lihat gorobak..? (tidak tahu apa maksudnya arti dari gorobak itu). Lalu korban menjawabnya saya tahu (dengan bahasa Indonesia yang kaku). Lalu kamu tinggal di mana? Saya tinggal di Kalome.

Selanjutnya, tentara membuka Magasen lalu mengeluarkan peluru dan tunjuk dan bertanya kepada korban apakah kamu tau ini...? Apa kamu tau tempat penyimpanan senjata? Apakah kamu ada simpan di rumah ...? Korban senyum campur ketakutan karena ditodong senjata.

Ketika pertanyaan ini terus bertubi-tubi maka muncullah secara tiba-tiba yang menjadi saksi dalam pembunuhan Pdt. Kindeman Gire ini, yakni seorang hamba Tuhan, Pitinius Kogoya. Ternyata dia juga ditangkap oleh kelompok tentara tersebut. “He kamu cari apa? Pitinius Kogoya menjawab: Ah saya ada titip uang sama sopir waktu berangkat ke Wamena untuk belikan minyak goreng jadi saya datang cek mobil yang masuk dari Wamena. Pertanyaan berikut, Apakah kamu tahu peluru..? Apakah kamu tahu senjata..?. Di mana tempat persembunyian OPM? Dia menujukkan tempat di sebelah bukit dan katanya, “Kami biasa mendengar mereka ada di sana. Tapi, kami tidak tahu tempatnya dan belum pernah ketemu mereka”.

Pada saat itu sudah pukul 14.30 WIB waktu setempat. Korban dan saksi dipisahkan. Jarak antara mereka 2 sampai 3 meter lalau menyiksa mereka berdua dalam dua kelompok berbeda sampai jam 17.00 sore. Terlihat buka mereka bengkak dan menghitam.
Pada saat pukul 15.00 sore itulah saksi Pitinius Kogoya didorong oleh anggota Tentara lain berdiri bagian atas posisi ketinggian dan langsung lompat diposisi rendah bagian bawah badan jalan lompat menginjak satu anggota yang berdiri diposisi kemiringan merayap masuk dalam semak-semak dan melarikan diri. Ketika itulah korban atas nama Pdt. Kindeman Gire ditembak dengan Senjata 2 kali. Hingga saat ini jasad korban belum ditemukan.

Video: http://www.facebook.com/profile.php?id=100000117939311&ref=profile&v=info#!/video/video.php?v=139222449458338




Selengkapnya...

----------------------------------------------------------------------------------------
Perjuangan pembebasan nasional Papua Barat bukan perjuangan melawan orang luar Papua (Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Ambon dan lainnya) tetapi perjuangan melawan ketidakadilan dan pengakuan akan KEMANUSIAANNYA MANUSIA PAPUA BARAT DI ATAS TANAH LELUHURNYA.Jadi, Merdeka bagi orang Papua adalah HARFA DIRI BANGSA PAPUA BARAT!