Negara tidak memungkiri ada operasi militer tetapi semata-mata demi keamanan di wilayah perbatasan RI-PNG
Konstalasi politik di Papua terus menghangat pada hampir tiga bulan terakhir pasca Publik Hearing Kongres Amerika. Berita mengejutkan kembali melanda Papua dengan menghangatnya berita kebocoran data intelijen Kopassus di Kotaraja, Jayapura.
Allan Nairn, jurnalis dari Amerika serikat dalam blog pribadinya (9/11) merealease data Laporan Operasi Intelijen Korps Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Kotaraja, Jayapura pada Tahun 2007. Dalam dua data laporan Pasukan Baret Merah Indonesia yang bocor ini, mereka mengidentifikasi aktivis gereja dan LSM sebagai musuh dan dianggap berpotensi menyebarkan semangat anti terhadap Pemerintah Indonesia.
Laporan Allan Nairn mengungkapkan, Kopassus menggelar operasi intelijen untuk mengawasi belasan aktivis Papua yang dianggap mengkampanyekan gerakan Papua merdeka.
Dalam laporan Triwulan I Pos Kotaraja yang dibuat oleh Danpos, Lettu Inf Nur Wahyudi di Kotaraja, Agustus 2007 mengungkap beberapa hal penting yaitu keadaan daerah operasi, baik secara geografi, aspek demografi maupun aspek kondisi sosial. Pada aspek sosial inilah terdapat data Orang-orang Papua yang menjadi targer incaran. Terdapat 15 nama yang diberi kode tokoh-tokoh GSP/P yang berdomisili di Kotaraja dan sekitarnya.
Dari list nama-nama tersebut, Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Ketua Gereja Baptis Papua) berada pada urutan pertama. Saat dikonfirmasi mengenai kemunculan data ini, Yoman mengaku jika selama ini diincar oleh Kopassus Tahun 2007 lalu.
“Saya pernah diundang untuk hadiri acara mereka tapi saya tidak pergi, kita sudah mengenal cara begini jadi diundang juga kami tidak pernah hadir, jadi skenarionya seperti Theys Hiyo Eluays yang diundang lalu dibunuh,” ujar Yoman saat di Konfirmasi JUBI di Jayapura, Rabu (10/11).
Menurutnya Yoman, kehadiran Kopassus di Papua untuk kepentingan ekonomi, keamanan dan politik. Selain itu, Kopassus juga hadir untuk memperoteksi Sumber Daya Alam dan transmigran. “Kami ini minta keadilan. Saya sebagai pemimpin gereja hanya akan bicara soal keadilan, dalam hal ini kami tidak akan mundur satu langkah pun” tegasnya.
Selain itu, data ini juga dilengkapi dengan perhitungan kekuatan yang dimiliki baik kekuatan kawan maupun kekuatan lawan baik satuan organik maupun non-organik dari TNI AD, TNI AL, TNI AU, POLRI. Konsep operasinya terdiri atas tiga poin yaitu manuver, pentahapan operasi dan gelar pasukan atau pos.
Buchtar Tabuni (Ketua Komite Nasional Papua Barat) juga menjadi target dalam operasi ini. “Bagi saya, mereka itu orang-orang penakut yang tidak mau disaingi yang kerjanya meneror Orang Papua padahal ruang demokrasi sudah terbuka. Hak untuk berpolitik dijamin penuh oleh undang-undang universal,” kata Buchtar Tabuni pada JUBI (11/11) di Lapas Abepura.
Allan Nairn pernah membuat liputan investigatif peristiwa Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Laporan-laporan Allan berpengaruh pada pemutusan bantuan Amerika Serikat terhadap TNI pada Tahun 1993.
Allan juga pernah melakukan liputan investigasi membongkar dugaan keterlibatan Kopassus dalam operasi pembunuhan aktivis politik di Aceh selama Pemilihan Umum 2009. Menurut Allan, sedikitnya 8 aktivis Partai Aceh dibunuh selama Pemilu 2009. Mereka adalah Tumijan (35 tahun) buruh perkebunan kelapa sawit di Nagan Raya, dan Dedi Novandi alias Abu Karim (33 tahun) yang ditembak di depan rumahnya di Gampong Baro, Bireuen.
Dalam blog pribadinya ini, Allan juga mengungkapkan bahwa Kopassus adalah unit yang paling terkenal dari angkatan bersenjata Indonesia, TNI, yang bersama dengan POLRI, polisi nasional, telah membunuh ratusan ribu masyarakat sipil. AS memulihkan kembali hubungannya dengan Kopassus dengan memberi ‘bantuan’ pada Juli lalu dimana rasionalisasinya adalah untuk itu memerangi terorisme tetapi dokumen ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya Kopassus mentarget warga sipil secara sistematis.
Semua yang tercantum adalah warga sipil, dimulai dengan Ketua Sinode Baptis Papua. Yang lain termasuk Hamba Tuhan, aktivis, pemimpin adat, anggota legislatif, mahasiswa dan intelektual serta tokoh pembentukan lokal dan ketua organisasi pemuda muslim Papua. Operasi intelijen Kopassus juga menyatakan bahwa mereka menargetkan warga sipil karena gerakan sipil jauh lebih berbahaya daripada oposisi bersenjata, apalagi sejak kelompok bersenjata ‘tidak lagi melakukan apa-apa’ tetapi warga sipil - dengan dukungan rakyat - dapat mencapai dunia internasional dengan tujuan mereka adalah merdeka dengan menyebarkan isu pelanggaran berat hak asasi manusia di Papua, yaitu ‘Pembunuhan dan penculikan yang dilakukan oleh pasukan keamanan.’
Seperti yang dilansir salah satu media nasional Indonesia, Voice of Human Rights mengungkapkan bahwa Kodam XVII Cenderawasih meragukan adanya operasi intelijen Kopassus di Kotaraja, Jayapura, pada Tahun 2007. ”Kami tidak memungkiri ada operasi intelijen di Papua. Karena Papua adalah daerah rawan dan perbatasan. Pasukan TNI di Papua ditugaskan untuk situasi rawan tadi. Soal operasi Kopassus, saya tidak begitu yakin,” kata Letkol Inf Susilo, Rabu (10/11).
Susilo meminta masyarakat tidak menerima begitu saja laporan yang didapat dari dunia maya. ”Jangan sampai dipelintir. Kami meminta, jika ada yang mendapat perlakuan kasar dari anggota TNI, langsung melapor ke polisi militer atau polisi, jangan ke yang lain, karena tidak akan menyelesaikan masalah,” katanya.
Samuel Awom, Ketua Gerakan Rakyat Demokratik Papua (GARDA-P) menilai bahwa ada dua poin penting yang dapat diambil, yaitu Pertama, tingkat keprofesionalan di dalam internal mereka dalam mengelola data. Bisnis penjualan data yang dilemparkan ke pihak luar untuk dibuka. Kedua, Ini membuktikan bahwa ruang demokrasi yang terbuka akan segera ditutup dan ini membuktikan bahwa papua masih menjadi daerah operasi militer.
“Mereka tidak akan mengakui perbuatan yang telah mereka lakukan apalagi yang bila menyangkut strategi yang sedang mereka lakukan demi menjaga hubungan Indonesia dengan negara lain yang selama ini memberi bantuan dana militer. Ketakutan atas berkurangnya bantuan dana akan berkurang apabila terbukti,” ujar Awom pada JUBI (12/11).
Persoalan Papua bukanlah milik Rakyat Papua sendiri karena sejarah kelam integrasi Papua ke Indonesia melibatkan beberapa negara termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kekayaan Papua yang melimpah menjadi sumber konflik diantara negara-negara tersebut. Rakyat Papua yang hidup di atas tanah kaya ini tidak pernah menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak yang terus bertikai di atas tanah ini, baik borjuis nasional Indonesia maupun borjuis internasional.
Frederika Korain, aktivis Perempuan Papua yang juga menanggapi data ini mengatakan, ”Dokumen operasi intelijen Kopassus ‘Kotaraja’ ini memberikan gambaran betapa kuatnya operasi intelijen dan pendekatan militeristik dalam penanganan masalah Papua oleh Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini,” ujarnya. Hal ini pertanda, sikap Pemerintahan SBY yang tetap memelihara pola-pola kekerasan di Papua.
“Ini merupakan ancaman serius terhadap hak hidup Masyarakat Papua, juga terhadap kebebasan sipil Rakyat Papua dan hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi pada era Otsus ini” ucap Perempuan Papua ini. Korain juga mengungkap, wajar saja kalau Orang Papua menganggap Otsus gagal dalam melindungi hak-hak asasi manusia Papua walaupun Pemerintah Republik Indonesia dan perwakilannya di Papua terus berkampanye tentang kesuksesan Otsus,” pungkasnya pada JUBI (13/11) di Waena, Jayapura.
Sumber:http://tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/polhukam/9902-data-intelijen-kopassus-bocor-
Selengkapnya...