... Menulis tentang apa yang saya saksikan dengan MATA, HATI, dan PIKIRAN ke-MELANESIA-an saya di West Papua sebelum menerima salah satu bagian dari hidup yang mutlak, yakni KEMATIAN...

Jumat, Juli 23, 2010

"Memorial Park" Theys: Reflections on Theys Eluay Graveyard

Oleh: Basilius Triharyanto

Hari Minggu di bulan Maret 2010. Aku berdiri di tanah seluas seribu meter lebih. Terhampar rumput hijau yang tingginya hingga satu meter. Di belakangnya hutan di atas punggung bukit Siglob. Punggung bukit yang hijau itu selalu menarik pandanganku. Ia memberikan kesegaran tiap kali aku menatapnya di balik kaca mobil taksi. Dan, akhirnya, aku harus berhenti untuk menatap keindahannya, memberikan penghormatan kepada seorang yang menjaga keindahan dan kedamaian tanah, air, hutan dan manusia Papua, Theys Hijo Eluay.

Di depan makam Theys, peristiwa pembunuhan itu mulai tergambar kembali. Meski, tak ada rangkaian kata tentang perjuangan, cita-cita dan harapan bagi kedamaian di tanah Papua, Theys tetap mengingatkan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi.

Makam Theys yang tepat di pertigaan jalan menuju Bandara Sentani sangat terbuka. Tak ada pagar di sekitar makamnya. Aku tak lama, sekitar 30 menit memberikan penghormatan. Entah kenapa, aku merasa tak nyaman lagi. Semula makam sepi, beberapa menit kemudian mulai muncul beberapa orang yang melewati jalan setapak yang membelah di antara rumput tinggi itu.

Di seberang jalan berdiri pos polisi lalu lintas yang selalu dijaga oleh dua atau tiga anggota polisi. Mereka lebih berdiri dan diam di dalam pos, sepertinya rambu-rambu lampu lintas yang hidup sudah cukup untuk mengatur lalu lintas. Namun pos polisi ini tepat menghadap makam Theys, yang jaraknya sekitar 100an meter.

Makam Theys berukuran kurang lebih panjangnya dua meter dan lebar satu meter. Ia dibangun dengan adukan semen yang keras, bentuk datar seperti persegi empat. Ia tak polos, ia dibalut lambang Bintang Kejora. Aku tertegun menatap makam yang dibalut dengan gambar bendera Bintang Kejora, simbol dari perjuangan kemerdekaan Papua.

Presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak melarang bendera itu dikibarkan. Pada tahun 2000, Gus Dur merestui Konggres Rakyat Papua, yang membolehkan penggunaan simbol-simbol kepapuaan. Simbol-simbol seperti bendera dan lagu kebangsaan Papua bisa dinyanyikan dengan bebas. Namun, kebijakan Gus Dur telah digantikan oleh kekerasan struktural negara yang dilakukan oleh militer.

Bendera Bintang Kajora yang dikibarkan hampir di setiap kabupaten dan daerah pedalaman Papua dipaksa diturunkan. Militer memaksanya dengan senjata dan kekerasan. Warga yang menghentikan dan melawan berhadapan dengan senjata. Dan berakhir dengan tragedi kemanusiaan; kekerasan senjata telah mengorbankan nyawa, melukai hati dan membuka trauma yang panjang.

Bendera Bintang Kejora itu telah mengantarkan ke dalam peristirahatan terakhir dan abadi. Bintang Kejora pada batu itu sebagai saksi tragedi kemanusiaan di tanah Papua. Bendera itu meninggalkan luka dan derita panjang. Namun, bendera itu melekatkan sebuah kesetiaan untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran bagi bangsa Papua.

Ia menjadi besar di tengah bangsa Papua, mestinya juga bagi bangsa Indonesia. Ia pemimpin yang dicintai, karena kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Seorang kawan bercerita Theys selama satu hari satu malam berjalan dari Sentani ke Waena, setelah tiba sudah ada ratusan orang yang menunggunya. Theys salah seorang ‘the godfather’ yang pernah ada di tanah Papua. Ia pemimpin yang dicintai rakyat dan bangsanya, karena ia mampu membawa ke tanah terjanji, tanah yang damai dan adil.

Theys, suara kemartiranmu tetap berkumandang. Jalan damai yang engkau pilih telah melahirkan generasi yang cinta damai. Kemartiranmu telah menaburkan benih kedamaian. Meski, belum untuk saat ini. Semoga tidak untuk 1000 tahun lagi.

* Baca juga di webblog: www.duniabergerak. blogspot.com

Tidak ada komentar:

----------------------------------------------------------------------------------------
Perjuangan pembebasan nasional Papua Barat bukan perjuangan melawan orang luar Papua (Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Ambon dan lainnya) tetapi perjuangan melawan ketidakadilan dan pengakuan akan KEMANUSIAANNYA MANUSIA PAPUA BARAT DI ATAS TANAH LELUHURNYA.Jadi, Merdeka bagi orang Papua adalah HARFA DIRI BANGSA PAPUA BARAT!