Numbay—Awal April 2010, anak-anak muda Papua Barat menggelar sebuah diskusi bertema “Papua Barat Barsatu untuk Merdeka” di aula salah satu kampus swasta di Jayapura, Papua Barat. Diskusi itu dihadiri oleh lebih dari 100-an pemuda mewakili suku-suku dari Sorang sampai Merauke/Samarai. Tapi, terlihat juga beberapa simpatisan dari luar Papua. Tampak dua orang teman dari Aceh dan Timor Leste. Satu lagi dari Jawa datang menyusul.
Pada diskusi itu, seorang kawan dari Serui (pada awal diskusi) mengajukan sebuah pertanyaan penghangat diskusi. “Mengapa kita (Bangsa Papua Barat) ingin merdeka di luar Republik Indonesia? Pertanyaan ini mengundang marah bagi beberapa orang dan justru tampak membakar emosi para peserta. Muncul perdebatan tiba-tiba. Ada yang mengatakan setiap orang perlu beri anggumen atas pertanyaan itu. Ada yang mengatakan biarkan saja tanpa komentar (langsung ke inti diskusi). Akhirnya, sepakat untuk memberikan jawaban masing-masing peserta. Jawaban datang bertubi-tubi.
Tampak semua orang yang mewakili suku-suku di Papua Barat itu memberikan jawaban yang beragam atas pertanyaan itu. Amat menarik jawaban yang beragam itu. Kebetulan teman saya membawa handycam dan merekam semua pembicaraan. Saya tulis kembali jawaban-jawaban dari para peserta tersebut dari rekaman teman itu. Saya tidak kurangi dan tidak menambahkan. Sebelum mereka beri jawaban, mereka sebutkan nama dan asal kabupatennya. Untunglah, semua pembicaraan dapat terekam dan dapat Anda baca saat ini.
Tetapi, minta maaf. Saya tidak akan sebutkan nama lengkap teman-teman itu. Saya harus melindungi mereka. Soalnya, mereka menamakan diri sebagai kelompok pemuda “Manusia Sisa-sisa”. Sebutan ini agak aneh tetapi nyata. Karena mereka sisa-sisa, saya tidak sebutkan nama lengkap. Nanti habis mereka, hehehe. Kita ikuti jawaban mereka.
Kawan dari Wamena mengawali memberi jawaban. Dia mengatakan, Bangsa Papua Barat mau merdeka di luar Republik Indonesia karena kita punya ras berbeda dan banyak pembunuhan. “Indonesia dong bunuh kita (orang Papua) terus. Tong su habis ni. Kita perang sudah,… aeeeeeeeh,”kata Eli.
Yosep dari Merauke mengatakan, semua kekayaan alam di tanah Papua mereka kuras habis dan bawa ke Jakarta. “Orang Papua menderita di atas tanah air yang kaya raya. Papua, dong jadikan gudang bahan mentah. Jadi, satu-satunya jalan keluar adalah Papua harus Merdeka. Dorang bawa semua ke luar. Kita tidak dibangun. Sekarang tanah juga mereka kuasai,”kata Yosep.
Teman dari Merauke ini juga bercerita tentang perampasan tanah adat oleh TNI dan pos-pos militer di Merauke. Pada tanggal 17 April 2007 di kampung Kwel, Distrik Eligobel di wilayah perbatasan Kabupaten Merauke, KODAM XVII/Trikora merampas tanah milik Okto Kwamaljai seluas 2 hektar untuk bangun markas TNI. Daerah perbatasan PNG dan Papua bagian Selatan tersebar Pos TNI Kala Hitam Siliwangi dari Jawa Barat, tiap 1 Pos anggota TNI 25 orang, jarak tiap Pos TNI 5 km dengan kampung orang asli Papua.
Pace Biak, Yakob, dia bilang, “Kita orang Papua itu ras Melanesia. Mereka itu Melayu. Kita tidak akan pernah hidup bersama sampai dunia kiamat. Dorang bunuh kita sejak moyang sampai saat ini mereka masih bunuh torang. Mereka ambil harta torang dan masih membunuh torang. Siapa pun pasti marah. Sampai dunia kiamat, tong tetap Papua,” katanya.
Kawan dari Raja Ampat, “Assalamalaikum! Teman-teman, saya muslim Papua. Secara agama, kalian boleh memandang saya agak berbeda. Tetapi, soal merdeka kita satu. Jadi, saya mau kasih tahu, Indonesia menjadi kuat secara ekonomi dan politik karena tanah Papua yang kaya raya. Dia sebenarnya sangat lemah. Papua menjadi kekuatannya maka dia tekan kita terus. Dia mekarkan kabupaten dan provinsi terus itu karena dia takut Papua bersatu dan merdeka. Jadi, yang penting jaga persatuan biar pemekaran sampai 100 kabupaten. Kita satu Melanesia. Kita, protestankah, katolikkah, islamkah, gunungkah, pantaikah, kita harus bersatu dan merdeka. Merdeka itu hak kita teman-teman,” kata Char.
W. Asmuruf dari Sorong mengatakan, dirinya tidak sanggup menyaksikan penguasaan berbagai sector oleh orang pendatang di tanah Papua. “Dong kuasai semua. Setiap kapal dong datang terus. Dong gusur kita di hutan dan di atas laut. Lalu, tambah lagi pembunuhan di mana-mana banyak,” katanya.
“Dulu, saat saya kuliah di Jawa, saya tidak pernah ikut aksi dengan mahasiswa untuk melawan Negara ini. Tetapi, setelah saya pulang dan lihat sendiri, saya sedih. Saya sudah ambil keputusan untuk berjuang bagi kemerdekaan Papua Barat. Saya tidak masuk kerja di mana pun. Banyak orang tawar saya kerja tetapi saya hanya ingin kerja untuk Papua merdeka,” kata Asmuruf.
Teman perempuan dari Mimika, Hana, berdiri dan menyanyikan sebuah lirik lagu dalam bahasa daerahnya. Berikut lagunya:
Amanelan jamai-a amanelan jamo
Wemjagamea negtewengamtayo amanelan jamo
Bom tangan pangamtayo amanelan jamo
Senjata kaki dua pangamtayo amanelan jamo
Jongkok ingamtayo enago-a amanelan jamo
Kacao ingamtayo enago-a amanelan jamo
Tiarap ingamtayo enago-a amanelan jamo
Model baru-et mogamte enago-a amanelan jamo
Nai domatertayo enago-a amanelan jamo
Nannak nannai amanelanjamo
Nemeak nemeai amanelanjamo
Terjemahannya adalah:
Mau beritahukan, mau perlihatkan
Mau perlihatkan daerah yang dirusak oleh tentara
Mau perlihatkan tempat tentara lempar bom tangan
Mau perlihatkan tempat tentara tembak kami dengan senjata kaki dua
Mau perlihatkan tempat kami jongkok
Mau perlihatkan tempat kami terpencar
Mau perlihatkan tempat kami tempat kami tiarap
Mau perlihatkan tempat kami kami dikejar dengan senjata model baru
Mau perlihatkan rumah saya dibakar oleh tentara
Kakak-kakak, kami mau perlihatkan
Saudara-saudara, kami mau perlihatkan
Usai menyanyi, dia menjelaskan begini, “Lirik lagu yang saya nyayikan itu dinyanyikan oleh orang tua di Mimika ketika menghadapi kekerasan militer sejak 1970-an. Lagu ini menunjukkan bahwa kekerasan dialami orang Amungme telah berlangsung sejak lama hingga tercipta lagu spontan tentang penderitaan mereka menghadapi TNI. Lagu ini dinyanyikan di kalangan Amungme di kala mereka berkebun, istirahat di kampung, atau berada dalam persembunyian,”katanya.
Hana mengatakan, lagu-lagu ini sekaligus mewartakan kepada anak-anak dan warga Amungme tentang kekejaman dan kekejian TNI. Jadi, Papua harus merdeka karena pengalaman-pengalaman itu. Dan, pengalaman itu ada karena orang ingin bebas di atas tanah mereka.
“Bagi kami, orang Mimika, kematian ARDY TSUGUMOL dalam penjara Mabes POLRI Jakarta pada tanggal 1 Desember 2006 adalah luka sepanjang masa. Lebih lagi, mayatnya disimpan dalam lemari es berbulan-bulan di Jakarta,”kata Hana menangis.
Hanya juga mengatakan, PT Freeport Indonesia harus ditutup karena cacat hukum. Kontraknya ditandatangani pada tahun 1967. Pada saat itu status Papua belum jelas. Dan, sekarang ini kita lihat apa yang terjadi di Papua? Daerah yang kaya kok kemiskinan semakin bertambah, pemberdayaan masyarakat tidak ada, minimnya pendidikan di Papua terutama daerah pedalaman, dan masih banyak masalah di Papua. Kasus Abepura 16 Maret, kasus Ardy, dan banyak kasus lain di Timika itu karena Freeport. Jadi, Freeport harus ditutup.
“Saya masih ingat cerita ayah saya waktu kecil. Dia cerita tentang Pak Gersang di Fak-fak yang pernah membongkar tenda-tenda orang Barat yang datang ambil kekayaan Papua saat itu di Fak-fak. Cerita itu bagi saya adalah cerita tentang perlawanan dan nasionalisme. Saat ini saya renungkan cerita itu. Dulu saja ada orang yang melawan, apalagi sekarang orang berpendidikan banyak dan kalau tidak melawan lebih bagus mati saja,”kata Alfred T. dari Fak-fak.
Pembicaraan mulai serius dan terus dilanjutkan. Forum membiarkan semua orang bicara tentang apa yang mereka saksikan dan argument mereka untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pembicaraan mengarah menjadi lebih serius, berat, dan dilanjutkan.
Teman dari Serui mengungkapkan kekesalannya atas tindakan orang Serui di masa lalu. “Orang tua di Serui dulu menerima NKRI di Papua. Mereka menahan NKRI. Saya sebagai generasi muda sekarang, kesal dengan orang tua dorang dulu. Anak-anak muda Serui sekarang tra sama dengan orang tua dorang di masa lalu. Apalagi, kami menyaksikan banyak orang ditembak mati. Kaka aktivis HAM Papua, Elyse Bonai ditembak di Wutung, Jayapura, 28 Desember 2002 lalu. Trada jalan lain, kita harus keluar dari NKRI,” katanya.
Teman dari Sentani, Rosalina, lebih dulu mengkritik Bernabas Suebu.“Orang yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Otsus adalah Gubernur, Bernabas Suebu. Dia menghambur-hambur uang ke rakyat tetapi dia tidak proteksi orang Papua. Bernabas Suebu tidak pernah duduk bersama dengan MRP untuk bicara soal Perdasi dan Perdasus yang menyelamatkan orang asli Papua,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Dia (Bernabas Suebu) gagal bangun Papua. Otsus lahir karena tiga hal, yaitu soal sejarah masa lalu, pelanggaran HAM, dan keadilan pembangunan. Jadi, soal sejarah dan pelanggaran HAM tidak sama sekali di urus. Dia hanya main-main di seputar pembangunan tetapi itupun gagal. Dia hanya bengun untuk orang pendatang. Era Otsus orang pendatang banyak, pemekaran banyak, dan dia menghamburkan 44 trilyun rupiah secara tidak jelas selama 10 tahun ini. Di Sentani (orang Sentani) sekarang ada pengemis. Ada anak-anak asli Papua cari kaleng untuk bayar sekolah dan uang makan. Aneh tapi nyata,” kata Rosalina.
Rosalina mengatakan, solusi terakhir adalah merdeka. “Kita tidak bisa lagi hidup dengan bangsa yang terus menguras sum-sum kita. Kita tidak akan pernah hidup dengan mereka. Jika di dunia harus sama-sama, maka di surga kita minta kepada Tuhan untuk pisahkan kami dengan orang Indonesia,” katanya.
Dua tahun lalu, tanggal 13 Mei 2007 di Yahokimo, saya menyaksikan sendiri Yulius Meage, laki-laki, 18 tahun ditangkap dan dianiaya, disiksa oleh Sertan Satu Panji Suwito Putro dari Kesatuan KODIM 1702 Jayawijaya yang bertugas KORAMIL Distrik Kurima Kabupaten Yahukimo. Peristiwa menyakitkan banyak sekali. “Orang gunung itu dong bilang pengacau keamanan jadi dong bunuh kita seperti binatang. Padahal kita hanya minta kita punya hak kemerdekaan. Kita, Papua, sudah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961. Kita tidak boleh lupa sejarah kemerdekaan kita,” kata Tinus di Yahokimo.
Teman dari Sorong Selatan yang baru selesai Pasca Sarjana di salah satu kampus di Jawa ini mengatakan, pada tahun 1969 pernah terjadi Referendum di bawah intimidasi militer Indonesia (todongan moncong senjata) yang sangat kuat maka rakyat Papua waktu itu memilih berintegrasi dengan Indoensia. Apa inti yang ingin saya sampaikan?
Bahwa masyarakat Papua sudah memiliki "daya pemmbeda" antara hidup dengan Belanda dan selama 40 tahun dengan Indoensia. Tentang langkah dan upaya belanda untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua VS Kepemerintahan Indoensia selama 40 tahun yang gagal untuk memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi mereka. Jadi, singkatnya, tanpa diprovokasi pun orang Papua pasti akan menuntut kemerdekaan. Orang Papua pasti akan memilih merdeka hingga ia mati.
Zeth dari Boven Diguel agak berbeda. “Mereka bilang kita bodoh. Mereka bilang kita pemabuk. Mereka bilang kita pengacau. Mereka bilang kita hitam dan keriting. Mereka bilang kita tidak bisa romantis. Mereka bilang kita tidak bisa berpuisi.Teman-teman kita lahir jauh setelah jajak pendapat dilaksanakan. Kita lahir dan langsung mengenali lingkungan sekitar kita di bawah integrasi Indonesia. Kita generasi belakangan dari evolusi paham kebangsaan Papua sejak Organisasi Papua Merdeka muncul hingga, misalnya Theys Hiyo Eluay dibunuh dan represi di tengah pemerintah Indonesia pasca-Orde Baru.
Katanya, dia (Zeth) menemukan sebuah puisi di webblog: www.sampari.blogspot.com berjudul ”Rantai”. Dia membacakan puisinya itu demikian:
Tete saya bilang, tahun 60-an
ada pembantaian di Mapumduma
Orang tua saya juga kastau, tahun 70-an
Tetapi sa pu kaka dong bilang, tahun 80-an
Sa pu teman juga melihat, tahun 90-an di Biak
Sa juga lihat di Jayapura dan Wamena
Ternyata, sa pu ade juga alami, tahun 2000-an
Tong lihat di Wamena tahun 2008
Sa pu dosen Uncen bilang, itu yang dapat ko lihat…
Sa pu teman yang nakal, de bilang:
Oh… itu dong bilang:
Rantai Pembantaian alias Genosida
Setelah dia membacakan puisinya itu, ia berkata,” Jadi, sejarah kelam kita menyiksa batin ini terus menerus. Obat penawar hanya, Merdeka,” katanya.
Anak Pengunungan Bintang, Kris, bicara soal Otsus. Katanya, orang Papua dan Jakarta harus mengakui bahwa implementasi UU No.21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua selama 10 tahun ini belum ada penghormatan dan pengakuan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua. Hak-hak dasar orang asli Papua yang tercantum dalam UU 21 tahun 2009 menjadi hanya rangkaian kalimat-kalimat yang enak didengar tetapi belum maksimal implementasinya.
Kata Kris, berkaitan dengan amanat UU Otsus, Gubernur gagal mengusulkan kepada Presiden untuk pembentukan Pengadian HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi agar mengklarifikasi pelaksanaan ”act of free choice” atau PEPERA tahun 1969 yang tidak demokratis, tidak adil dan penuh pelanggaran HAM sehingga melatari lahirnya UU No. 21 tahun 2001. Otsus telah 10 tahun dan sudah gagal. Jalan keluar yang harus diakui oleh semua orang termasuk Barnabas Suebu dan Jakarta adalah referendum.
Andy Werror dari Nabire juga menambahkan soal sejarah. Katanya, dalam teks asli proklamasi Si Soekarno Hatta itu mulai dari Sabang sampai dengan Maluku. Pernyataan Dr Muhammad Hatta bisa di peroleh dari file di PBB mengenai tanah dan bangsa Papua. Dengan singkat pernyataannya bahwa soal status tanah Papua supaya dibiarkan kepada orang-orang Papua untuk menentukan masa depannya sendiri. Dia percaya bahwa orang-orang Papua punya hak untuk merdeka dan bernegara sendiri. File di PBB bisa dilihat.
Jadi, katanya merdeka itu harga mati karena orang Papua tidak ada bersama Indonesia. “Kita harus mengadakan aksi-aksi damai dan kalau perlu kerusuhan sebagai bahan mengundang PBB dan dunia intenasional untuk perhatian kepada perjuangan bangsa Papua. Maaf Indonesia tidak akan menyerahkan MERDEKA di atas piring EMAS hanya bisa serahkan Merdeka atas piring DARAH BANGSA PAPUA. Dan ini harus terjadi tahun 2011 dan 2012,” katanya.
Moses dari Paniai mengulas cukup panjang soal sejarah. “Saya ingin membuka kita punya pemahaman,” katanya mengawali ceritanya. Lebih lanjut dia menjelaskan, pada tanggal 1 Mei 1963, sesuai dengan perjanjian New York (New York Agreement) dengan melalui suatu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), Papua (Irian Jaya) diserahkan dari Pemerintah Negara Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Isi daripada perjanjian New York (New York Agreement) antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, apabila badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nation (UN) telah membenarkan persetujuan atau perjanjian itu melalui Rapat Umum, maka Belanda segera menyerahkan kekuasaan atas Irian Jaya (Papua) kepada UNTEA.
Kedua, terhitung sejak tanggal 1 Mei 1963 UNTEA sebagai yang memikul tanggung jawab Administrasi Pemerintah di Irian Jaya (West Papua) selama 6-8 bulan dan menyerahkannya kepada Indonesia.
Ketiga, pada Akhir tahun 1969, di bawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB dilakukan Act of Free Choice dalam mana orang Irian Jaya (West Papua) dapat menentukan penggabungan pasti tanah mereka dengan Indonesia atau menentukan Status atau Kedudukan yang Lain (Merdeka Sendiri).
Keempat, Indonesia dalam tenggang waktu tersebut diharuskan mengembangkan/membangun kebersamaan orang Irian Jaya (Papua) untuk nantinya pada akhir tahun 1969 dapat menentukan pilihannya.
Semenjak aneksasi hingga saat ini terus terjadi pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tanggal 26 Juli 1965 di Manokwari yang dipimpin oleh Sersan Mayor Permenas Ferry Awom yang merupakan bekas anggota Batalyon Sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers Korps).
Pemberontakan OPM yang Berawal di Manokwari tersebut kemudian menjalar terus ke seluruh Kabupaten di Papua (Irian Jaya) yaitu: Biak-Numfor, Sorong, Paniai, Fak-Fak, Yapen Waropen, Merauke, Jayawijaya, Tembagapura, Timika dan Jayapura.
Aksi Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilakukan dengan beberapa cara yaitu (1) aksi Perlawanan Fisik bersenjata atau aksi militer yang dilakukan secara sporadis, (2) aksi Penyanderaan, (3) Aksi Demonstrasi Massa, (4) aksi Pengibaran bendera West Papua, (5) aksi Penempelan dan Penyebaran Pamflet/Selebaran, (6) aksi rapat-rapat politik dan pembentukan organisasi perjuangan local, (7), aksi Pelintasan Perbatasan, (8) aksi Perusakan dan Pembongkaran, dan (9) aksi Politik.
Kata Moses, sejarah ini terus akan berkembang. “Perlawanan harus kita lanjutkan hingga titik darah penghabisan. Ingat, masalah Papua merdeka itu akan habis hingga kita Merdeka. Tidak satu perjuangan yang sia-sia. Perjuangan merdeka itu tidak akan sia-sia,” kata Moses.
Dance, teman dari Manokwari bicara soal perangkat Negara Papua Barat. Sejarah menyatakan dengan benar, jelas dan terbuka luas, bahwa pada tanggal 1 Desember 1961 melalui New Guinea Raad (Dewan Papua Barat) dan berdasar Staatsblaad No. 68 pada tanggal 18 Nopember 1961 dan bangsa Papua Barat secara ‘de facto’ menyatakan diri sebagai sebuah bangsa dengan dasar penetapan atribut Nasional Negara Papua Barat, yaitu: Lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”, Bendera Kebangsaan Bintang Kejora, Burung Mambruk sebagai lambang negara, serta Papua Barat sebagai sebuah nama Negara.
“Perlawanan keras petama kali terjadi di Manokwari oleh Ferry Awom bersaudara. Jadi, perlawanan terhadap Indonesia tidak akan pernah berakhir selama orang Papua ada di Papua. Terutama kami anak-anak muda sekarang sudah bersatu. Kami akan terus melawan,” kata Dance.
Orang Moni asal Intan Jaya ini bicara lebih teoritis. Katanya, pengakuan terhadap “kemanusiaan yang adil dan beradap” adalah upaya sadar manusia yang menghargai sejarah kebenaran. Setiap orang –rakyat Papua Barat maupun non Papua- tidak bisa memungkiri kebenaran. BENAR tetap BENAR. Lalu, kini dan selamanya, tanpa dibatasi waktu dan ruang. Sejarah kebenaran tidak dapat hilang, ataupun sengaja dihilangkan oleh keniscayan dunia: kebohongan, penindasan, pembodohan, pemiskinan, pemarginalisasian, penyangkalan, penyogokan, pemalsuan, peng-indonesianisasian.
Lagi-lagi teman dari Kurima, Sapen, mengatakan, pada masa tahun 1962-1969 ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah dikirim ke Papua untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana 'Act of Free Choice' terjadi. Saat itu, rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum, pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat Papua waktu itu yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.”Teman-teman ini sejarah kalah. Saat ini kita tidak boleh kalah! Kita harus menang,” kata Sapen.
Satu lagi saya saksikan, Deny Hisage (Lai-laki), pada 16 Maret 2006 di Abepura dibunuh oleh intelejen Indonesia dengan memotong perut dan keluarkan tali perutnya, dan banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer dan polisi. Tiga bulan sebelumnya, pada 20 Januari 2006 di Wagate, Kabupaten Paniai (sekarang Kabupaten Deiyai), anggota polisi Indonesia menembak mati Moses Douw.
Melky dari Puncak Jaya mengatakan, di kabupatennya telah lama terjadi perang rahasia hingga saat ini. Yang terjadi di depan dia adalah Kopassus membunuh Pendeta Elisa Tabuni, mereka menuduh pelakunya ialah anggota OPM, Goliat Tabuni dan Marunggen Wenda. Katanya, yang mengerikan adalah dalam operasi-operasi itu militer Indonesia membakar 23 gedung gereja, delapan gedung ibadah milik Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP, sembilan gedung ibadah milik Gereja Kemah Injil Papua (GKIP), enam gedung ibadah milik Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
”Militer Indonesia itu binatang buas. Dia makan apa saja yang ada di depan dia. Saya trauma jadi tidak cerita soal penyiksaan dan pembakaran rumah warga dan ternak. Gereja saja mereka bakar. Jadi, perlawanan untuk merdeka itu harga mati. Siapa orang Papua yang main-main dengan perjuangan ini akan dimakan oleh tanah dan kalau tidak kami yang akan bunuh,” kata Melky.
Teman dari Sarmi (Derek) masih bicara sejarah kejahatan Negara. Katanya, pada periode 1970 – 1984 perlawanan rakyat Papua yang memprotes hasil 'Act of Free Choice' dalam bentuk berdirinya 'Organisasi Papua Merdeka' (OPM) menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah-wilayah yang diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM.
Ribuan pasukan militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut, kebebasan rakyat dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar. Operasi-operasi militer tersebut antara lain: Kasus Biak (1970/1980); Kasus Wamena (1977) dan Kasus Jayapura (1970/1980), kasus Nabire, kasus Paniai. Kasus 1984 di mana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12 000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.
Dia (Derek) juga mengatakan, pada periode 1985–1995 Operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan aparat keamanan, terutama di kawasan pegunungan tengah Papua Barat. Dari semua peristiwa yang terjadi 'Kasus Timika 1994/1995' yang melibatkan PT. Freeport Indonesia yang dilaporkan Keuskupan Gereja Katolik Jayapura di mana 16 orang dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5 perempuan ditahan dan diperkosa.
Selanjutnya pada periode 1996–1998 operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyandera para ilmuwan barat di wilayah Mapnduma, Pegunungan Tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996 - 1998. Menurut ELS-HAM Papua Barat (Mei 1998) Drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi militer baik pada masa penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja Kemah Injil Indonesia) dibakar musnah.
Pada periode 1998–2000 sejak tumbangnya Presiden Suharto pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di Papua Barat.
Teman dari Aceh dan Jawa ini diberi kesempatan untuk berkomentar. Tampak, mereka berapresiasi bagaimana dari sebuah pertanyaan yang terkesan main-main mengarah pada jawaban-jawaban yang serius. Banyak hal yang terungkap. Soleh, teman dari Aceh, mengatakan, kemerdekaan sebuah bangsa itu hak harga diri sebuah bangsa.
“Kawan-kawan, merdeka itu harga diri bangsa. Papua merdeka itu harga diri kalian sebagai bangsa Papua ras Melanesia. Jangan minta merdeka hanya karena lapar atau sakit. Harga diri lebih penting dari yang lain. Masa lalu Anda lalui dengan sakit, masa depan tidak boleh. Kalian harus berjuang untuk harga diri kalian. Indonesia belum selesai, kawan. Aceh akan lebih duluan jika Anda diam, lalu Burneo, Riau dan akan menyusul yang lain. Berjuang Terus, Merdeka Itu Harga Diri Bangsa Papua Barat!,” kata Soleh. ***
2 komentar:
entah saya orang apa secara label negara, yang pasti saya orang Islam. saya lahir di Indonesia, tepatnya di Jawa. anggap saja saya WNI tapi saya lebih senang dianggap sebagai orang yang merdeka!
dalam Islam penindasan dan ketidak adilan harus dilawan. kemerdekaan adalah hak penuh kaum yang tertindas dan terjajah. dengan ini saya mendukung gerakan kemerdekaan dan kebebasan kalian dari penindasan pemerintah zalim Indonesia!
VIVA AND FREE PAPUA!BERSATULAH!
-abe- from Indonesia
Lindungilah bangsa Papua ya Tuhan ku...! Berkatilah bangsa ini dengan "Merdeka" dan "Damai Sejahtera" di atas Tanah ini...! Amin.
Posting Komentar