... Menulis tentang apa yang saya saksikan dengan MATA, HATI, dan PIKIRAN ke-MELANESIA-an saya di West Papua sebelum menerima salah satu bagian dari hidup yang mutlak, yakni KEMATIAN...

Senin, Mei 16, 2011

TNI Kembali Menewaskan Warga Sipil Papua

Nabire--Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Batalyon 753 Nabire, Papua kembali menewaskan satu warga sipil Papua, Derek Adii (26), Sabtu, 14 Mei 2011. Peristiwa ini terjadi pada pukul 09.00 waktu setempat.

Berdasarkan Pantauan Saksi Mata kejadian bermula ketika korban melihat TNI memonopoli tangga naik kapal Penumpang Labobar sehingga mengakibatkan seorang ibu dengan anaknya terjepit dan jatuh. Korban tidak tahan melihat hal itu menegur anggota TNI di tempat kejadian perkara. Lalu, selanjutnya terjadi adu mulut.

“Kamu atur baik-baik ini kami bukan binatang. Kami ini manusia. Kamu jangan mempersempit tangga/jalan. Kasih kesempatan masyarakat naik dulu,” kata korban kepada TNI yang mengambil hampir sebagian ruas tangga naik.

“Bukan kamu yang mengatur kami, tetapi kami yang mengatur kamu,” kata seorang anggota dengan nada yang tegas. Lalu, anggota itu dan enam anggota lainnya mengeroyok korban di hadapan ibu kandung dan saudara kandungnya, serta para penumpang. Seorang anggota mencabut sangkur dan menikam di kepala (antara alis mata dan telinga).


Saat yang bersamaan anggota yang lain mengejar warga masyarakat yang ada di sekitarnya. Saat semua masyarakat berlarian menjauh, aparat TNI membuang korban yang kritis itu di celah antara kapal dengan tembok darmaga sehingga meninggal di dalam air.

Akibat dari peristiwa itu, kapal tertahan selama satu malam di pelabuhan Nabire. Dan, pencarian korban dilakukan. Pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 08.15 waktu setempat mayatnya ditemukan 5 meter ke dalaman laut.

Hasil pemeriksaan media dari Rumah Sakit Umum Nabire menunjukkan bahwa ada luka tikam di alis mata sampai di telinga, otak kecil hancur, bibir di bawah sobek dan mengeluarkan darah yang segar melalui mulut, dan hidung.

Selengkapnya...

“Berjuang Terus, Merdeka Itu Harga Diri Bangsa Papua Barat!”

(Rangkuman Diskusi Pemuda Sorong-Samarai)

Numbay—Awal April 2010, anak-anak muda Papua Barat menggelar sebuah diskusi bertema “Papua Barat Barsatu untuk Merdeka” di aula salah satu kampus swasta di Jayapura, Papua Barat. Diskusi itu dihadiri oleh lebih dari 100-an pemuda mewakili suku-suku dari Sorang sampai Merauke/Samarai. Tapi, terlihat juga beberapa simpatisan dari luar Papua. Tampak dua orang teman dari Aceh dan Timor Leste. Satu lagi dari Jawa datang menyusul.

Pada diskusi itu, seorang kawan dari Serui (pada awal diskusi) mengajukan sebuah pertanyaan penghangat diskusi. “Mengapa kita (Bangsa Papua Barat) ingin merdeka di luar Republik Indonesia? Pertanyaan ini mengundang marah bagi beberapa orang dan justru tampak membakar emosi para peserta. Muncul perdebatan tiba-tiba. Ada yang mengatakan setiap orang perlu beri anggumen atas pertanyaan itu. Ada yang mengatakan biarkan saja tanpa komentar (langsung ke inti diskusi). Akhirnya, sepakat untuk memberikan jawaban masing-masing peserta. Jawaban datang bertubi-tubi.

Tampak semua orang yang mewakili suku-suku di Papua Barat itu memberikan jawaban yang beragam atas pertanyaan itu. Amat menarik jawaban yang beragam itu. Kebetulan teman saya membawa handycam dan merekam semua pembicaraan. Saya tulis kembali jawaban-jawaban dari para peserta tersebut dari rekaman teman itu. Saya tidak kurangi dan tidak menambahkan. Sebelum mereka beri jawaban, mereka sebutkan nama dan asal kabupatennya. Untunglah, semua pembicaraan dapat terekam dan dapat Anda baca saat ini.

Tetapi, minta maaf. Saya tidak akan sebutkan nama lengkap teman-teman itu. Saya harus melindungi mereka. Soalnya, mereka menamakan diri sebagai kelompok pemuda “Manusia Sisa-sisa”. Sebutan ini agak aneh tetapi nyata. Karena mereka sisa-sisa, saya tidak sebutkan nama lengkap. Nanti habis mereka, hehehe. Kita ikuti jawaban mereka.

Kawan dari Wamena mengawali memberi jawaban. Dia mengatakan, Bangsa Papua Barat mau merdeka di luar Republik Indonesia karena kita punya ras berbeda dan banyak pembunuhan. “Indonesia dong bunuh kita (orang Papua) terus. Tong su habis ni. Kita perang sudah,… aeeeeeeeh,”kata Eli.

Yosep dari Merauke mengatakan, semua kekayaan alam di tanah Papua mereka kuras habis dan bawa ke Jakarta. “Orang Papua menderita di atas tanah air yang kaya raya. Papua, dong jadikan gudang bahan mentah. Jadi, satu-satunya jalan keluar adalah Papua harus Merdeka. Dorang bawa semua ke luar. Kita tidak dibangun. Sekarang tanah juga mereka kuasai,”kata Yosep.

Teman dari Merauke ini juga bercerita tentang perampasan tanah adat oleh TNI dan pos-pos militer di Merauke. Pada tanggal 17 April 2007 di kampung Kwel, Distrik Eligobel di wilayah perbatasan Kabupaten Merauke, KODAM XVII/Trikora merampas tanah milik Okto Kwamaljai seluas 2 hektar untuk bangun markas TNI. Daerah perbatasan PNG dan Papua bagian Selatan tersebar Pos TNI Kala Hitam Siliwangi dari Jawa Barat, tiap 1 Pos anggota TNI 25 orang, jarak tiap Pos TNI 5 km dengan kampung orang asli Papua.

Pace Biak, Yakob, dia bilang, “Kita orang Papua itu ras Melanesia. Mereka itu Melayu. Kita tidak akan pernah hidup bersama sampai dunia kiamat. Dorang bunuh kita sejak moyang sampai saat ini mereka masih bunuh torang. Mereka ambil harta torang dan masih membunuh torang. Siapa pun pasti marah. Sampai dunia kiamat, tong tetap Papua,” katanya.

Kawan dari Raja Ampat, “Assalamalaikum! Teman-teman, saya muslim Papua. Secara agama, kalian boleh memandang saya agak berbeda. Tetapi, soal merdeka kita satu. Jadi, saya mau kasih tahu, Indonesia menjadi kuat secara ekonomi dan politik karena tanah Papua yang kaya raya. Dia sebenarnya sangat lemah. Papua menjadi kekuatannya maka dia tekan kita terus. Dia mekarkan kabupaten dan provinsi terus itu karena dia takut Papua bersatu dan merdeka. Jadi, yang penting jaga persatuan biar pemekaran sampai 100 kabupaten. Kita satu Melanesia. Kita, protestankah, katolikkah, islamkah, gunungkah, pantaikah, kita harus bersatu dan merdeka. Merdeka itu hak kita teman-teman,” kata Char.

W. Asmuruf dari Sorong mengatakan, dirinya tidak sanggup menyaksikan penguasaan berbagai sector oleh orang pendatang di tanah Papua. “Dong kuasai semua. Setiap kapal dong datang terus. Dong gusur kita di hutan dan di atas laut. Lalu, tambah lagi pembunuhan di mana-mana banyak,” katanya.

“Dulu, saat saya kuliah di Jawa, saya tidak pernah ikut aksi dengan mahasiswa untuk melawan Negara ini. Tetapi, setelah saya pulang dan lihat sendiri, saya sedih. Saya sudah ambil keputusan untuk berjuang bagi kemerdekaan Papua Barat. Saya tidak masuk kerja di mana pun. Banyak orang tawar saya kerja tetapi saya hanya ingin kerja untuk Papua merdeka,” kata Asmuruf.

Teman perempuan dari Mimika, Hana, berdiri dan menyanyikan sebuah lirik lagu dalam bahasa daerahnya. Berikut lagunya:

Amanelan jamai-a amanelan jamo
Wemjagamea negtewengamtayo amanelan jamo
Bom tangan pangamtayo amanelan jamo
Senjata kaki dua pangamtayo amanelan jamo

Jongkok ingamtayo enago-a amanelan jamo
Kacao ingamtayo enago-a amanelan jamo
Tiarap ingamtayo enago-a amanelan jamo
Model baru-et mogamte enago-a amanelan jamo

Nai domatertayo enago-a amanelan jamo
Nannak nannai amanelanjamo
Nemeak nemeai amanelanjamo


Terjemahannya adalah:

Mau beritahukan, mau perlihatkan
Mau perlihatkan daerah yang dirusak oleh tentara
Mau perlihatkan tempat tentara lempar bom tangan
Mau perlihatkan tempat tentara tembak kami dengan senjata kaki dua
Mau perlihatkan tempat kami jongkok
Mau perlihatkan tempat kami terpencar
Mau perlihatkan tempat kami tempat kami tiarap
Mau perlihatkan tempat kami kami dikejar dengan senjata model baru
Mau perlihatkan rumah saya dibakar oleh tentara
Kakak-kakak, kami mau perlihatkan
Saudara-saudara, kami mau perlihatkan


Usai menyanyi, dia menjelaskan begini, “Lirik lagu yang saya nyayikan itu dinyanyikan oleh orang tua di Mimika ketika menghadapi kekerasan militer sejak 1970-an. Lagu ini menunjukkan bahwa kekerasan dialami orang Amungme telah berlangsung sejak lama hingga tercipta lagu spontan tentang penderitaan mereka menghadapi TNI. Lagu ini dinyanyikan di kalangan Amungme di kala mereka berkebun, istirahat di kampung, atau berada dalam persembunyian,”katanya.

Hana mengatakan, lagu-lagu ini sekaligus mewartakan kepada anak-anak dan warga Amungme tentang kekejaman dan kekejian TNI. Jadi, Papua harus merdeka karena pengalaman-pengalaman itu. Dan, pengalaman itu ada karena orang ingin bebas di atas tanah mereka.

“Bagi kami, orang Mimika, kematian ARDY TSUGUMOL dalam penjara Mabes POLRI Jakarta pada tanggal 1 Desember 2006 adalah luka sepanjang masa. Lebih lagi, mayatnya disimpan dalam lemari es berbulan-bulan di Jakarta,”kata Hana menangis.

Hanya juga mengatakan, PT Freeport Indonesia harus ditutup karena cacat hukum. Kontraknya ditandatangani pada tahun 1967. Pada saat itu status Papua belum jelas. Dan, sekarang ini kita lihat apa yang terjadi di Papua? Daerah yang kaya kok kemiskinan semakin bertambah, pemberdayaan masyarakat tidak ada, minimnya pendidikan di Papua terutama daerah pedalaman, dan masih banyak masalah di Papua. Kasus Abepura 16 Maret, kasus Ardy, dan banyak kasus lain di Timika itu karena Freeport. Jadi, Freeport harus ditutup.

“Saya masih ingat cerita ayah saya waktu kecil. Dia cerita tentang Pak Gersang di Fak-fak yang pernah membongkar tenda-tenda orang Barat yang datang ambil kekayaan Papua saat itu di Fak-fak. Cerita itu bagi saya adalah cerita tentang perlawanan dan nasionalisme. Saat ini saya renungkan cerita itu. Dulu saja ada orang yang melawan, apalagi sekarang orang berpendidikan banyak dan kalau tidak melawan lebih bagus mati saja,”kata Alfred T. dari Fak-fak.

Pembicaraan mulai serius dan terus dilanjutkan. Forum membiarkan semua orang bicara tentang apa yang mereka saksikan dan argument mereka untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pembicaraan mengarah menjadi lebih serius, berat, dan dilanjutkan.

Teman dari Serui mengungkapkan kekesalannya atas tindakan orang Serui di masa lalu. “Orang tua di Serui dulu menerima NKRI di Papua. Mereka menahan NKRI. Saya sebagai generasi muda sekarang, kesal dengan orang tua dorang dulu. Anak-anak muda Serui sekarang tra sama dengan orang tua dorang di masa lalu. Apalagi, kami menyaksikan banyak orang ditembak mati. Kaka aktivis HAM Papua, Elyse Bonai ditembak di Wutung, Jayapura, 28 Desember 2002 lalu. Trada jalan lain, kita harus keluar dari NKRI,” katanya.

Teman dari Sentani, Rosalina, lebih dulu mengkritik Bernabas Suebu.“Orang yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Otsus adalah Gubernur, Bernabas Suebu. Dia menghambur-hambur uang ke rakyat tetapi dia tidak proteksi orang Papua. Bernabas Suebu tidak pernah duduk bersama dengan MRP untuk bicara soal Perdasi dan Perdasus yang menyelamatkan orang asli Papua,” katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan, Dia (Bernabas Suebu) gagal bangun Papua. Otsus lahir karena tiga hal, yaitu soal sejarah masa lalu, pelanggaran HAM, dan keadilan pembangunan. Jadi, soal sejarah dan pelanggaran HAM tidak sama sekali di urus. Dia hanya main-main di seputar pembangunan tetapi itupun gagal. Dia hanya bengun untuk orang pendatang. Era Otsus orang pendatang banyak, pemekaran banyak, dan dia menghamburkan 44 trilyun rupiah secara tidak jelas selama 10 tahun ini. Di Sentani (orang Sentani) sekarang ada pengemis. Ada anak-anak asli Papua cari kaleng untuk bayar sekolah dan uang makan. Aneh tapi nyata,” kata Rosalina.

Rosalina mengatakan, solusi terakhir adalah merdeka. “Kita tidak bisa lagi hidup dengan bangsa yang terus menguras sum-sum kita. Kita tidak akan pernah hidup dengan mereka. Jika di dunia harus sama-sama, maka di surga kita minta kepada Tuhan untuk pisahkan kami dengan orang Indonesia,” katanya.

Dua tahun lalu, tanggal 13 Mei 2007 di Yahokimo, saya menyaksikan sendiri Yulius Meage, laki-laki, 18 tahun ditangkap dan dianiaya, disiksa oleh Sertan Satu Panji Suwito Putro dari Kesatuan KODIM 1702 Jayawijaya yang bertugas KORAMIL Distrik Kurima Kabupaten Yahukimo. Peristiwa menyakitkan banyak sekali. “Orang gunung itu dong bilang pengacau keamanan jadi dong bunuh kita seperti binatang. Padahal kita hanya minta kita punya hak kemerdekaan. Kita, Papua, sudah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961. Kita tidak boleh lupa sejarah kemerdekaan kita,” kata Tinus di Yahokimo.

Teman dari Sorong Selatan yang baru selesai Pasca Sarjana di salah satu kampus di Jawa ini mengatakan, pada tahun 1969 pernah terjadi Referendum di bawah intimidasi militer Indonesia (todongan moncong senjata) yang sangat kuat maka rakyat Papua waktu itu memilih berintegrasi dengan Indoensia. Apa inti yang ingin saya sampaikan?

Bahwa masyarakat Papua sudah memiliki "daya pemmbeda" antara hidup dengan Belanda dan selama 40 tahun dengan Indoensia. Tentang langkah dan upaya belanda untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua VS Kepemerintahan Indoensia selama 40 tahun yang gagal untuk memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi mereka. Jadi, singkatnya, tanpa diprovokasi pun orang Papua pasti akan menuntut kemerdekaan. Orang Papua pasti akan memilih merdeka hingga ia mati.

Zeth dari Boven Diguel agak berbeda. “Mereka bilang kita bodoh. Mereka bilang kita pemabuk. Mereka bilang kita pengacau. Mereka bilang kita hitam dan keriting. Mereka bilang kita tidak bisa romantis. Mereka bilang kita tidak bisa berpuisi.Teman-teman kita lahir jauh setelah jajak pendapat dilaksanakan. Kita lahir dan langsung mengenali lingkungan sekitar kita di bawah integrasi Indonesia. Kita generasi belakangan dari evolusi paham kebangsaan Papua sejak Organisasi Papua Merdeka muncul hingga, misalnya Theys Hiyo Eluay dibunuh dan represi di tengah pemerintah Indonesia pasca-Orde Baru.

Katanya, dia (Zeth) menemukan sebuah puisi di webblog: www.sampari.blogspot.com berjudul ”Rantai”. Dia membacakan puisinya itu demikian:

Tete saya bilang, tahun 60-an
ada pembantaian di Mapumduma

Orang tua saya juga kastau, tahun 70-an

Tetapi sa pu kaka dong bilang, tahun 80-an
Sa pu teman juga melihat, tahun 90-an di Biak
Sa juga lihat di Jayapura dan Wamena
Ternyata, sa pu ade juga alami, tahun 2000-an

Tong lihat di Wamena tahun 2008
Sa pu dosen Uncen bilang, itu yang dapat ko lihat…

Sa pu teman yang nakal, de bilang:
Oh… itu dong bilang:
Rantai Pembantaian alias Genosida


Setelah dia membacakan puisinya itu, ia berkata,” Jadi, sejarah kelam kita menyiksa batin ini terus menerus. Obat penawar hanya, Merdeka,” katanya.

Anak Pengunungan Bintang, Kris, bicara soal Otsus. Katanya, orang Papua dan Jakarta harus mengakui bahwa implementasi UU No.21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua selama 10 tahun ini belum ada penghormatan dan pengakuan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua. Hak-hak dasar orang asli Papua yang tercantum dalam UU 21 tahun 2009 menjadi hanya rangkaian kalimat-kalimat yang enak didengar tetapi belum maksimal implementasinya.

Kata Kris, berkaitan dengan amanat UU Otsus, Gubernur gagal mengusulkan kepada Presiden untuk pembentukan Pengadian HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi agar mengklarifikasi pelaksanaan ”act of free choice” atau PEPERA tahun 1969 yang tidak demokratis, tidak adil dan penuh pelanggaran HAM sehingga melatari lahirnya UU No. 21 tahun 2001. Otsus telah 10 tahun dan sudah gagal. Jalan keluar yang harus diakui oleh semua orang termasuk Barnabas Suebu dan Jakarta adalah referendum.

Andy Werror dari Nabire juga menambahkan soal sejarah. Katanya, dalam teks asli proklamasi Si Soekarno Hatta itu mulai dari Sabang sampai dengan Maluku. Pernyataan Dr Muhammad Hatta bisa di peroleh dari file di PBB mengenai tanah dan bangsa Papua. Dengan singkat pernyataannya bahwa soal status tanah Papua supaya dibiarkan kepada orang-orang Papua untuk menentukan masa depannya sendiri. Dia percaya bahwa orang-orang Papua punya hak untuk merdeka dan bernegara sendiri. File di PBB bisa dilihat.

Jadi, katanya merdeka itu harga mati karena orang Papua tidak ada bersama Indonesia. “Kita harus mengadakan aksi-aksi damai dan kalau perlu kerusuhan sebagai bahan mengundang PBB dan dunia intenasional untuk perhatian kepada perjuangan bangsa Papua. Maaf Indonesia tidak akan menyerahkan MERDEKA di atas piring EMAS hanya bisa serahkan Merdeka atas piring DARAH BANGSA PAPUA. Dan ini harus terjadi tahun 2011 dan 2012,” katanya.

Moses dari Paniai mengulas cukup panjang soal sejarah. “Saya ingin membuka kita punya pemahaman,” katanya mengawali ceritanya. Lebih lanjut dia menjelaskan, pada tanggal 1 Mei 1963, sesuai dengan perjanjian New York (New York Agreement) dengan melalui suatu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), Papua (Irian Jaya) diserahkan dari Pemerintah Negara Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Isi daripada perjanjian New York (New York Agreement) antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, apabila badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nation (UN) telah membenarkan persetujuan atau perjanjian itu melalui Rapat Umum, maka Belanda segera menyerahkan kekuasaan atas Irian Jaya (Papua) kepada UNTEA.

Kedua, terhitung sejak tanggal 1 Mei 1963 UNTEA sebagai yang memikul tanggung jawab Administrasi Pemerintah di Irian Jaya (West Papua) selama 6-8 bulan dan menyerahkannya kepada Indonesia.

Ketiga, pada Akhir tahun 1969, di bawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB dilakukan Act of Free Choice dalam mana orang Irian Jaya (West Papua) dapat menentukan penggabungan pasti tanah mereka dengan Indonesia atau menentukan Status atau Kedudukan yang Lain (Merdeka Sendiri).

Keempat, Indonesia dalam tenggang waktu tersebut diharuskan mengembangkan/membangun kebersamaan orang Irian Jaya (Papua) untuk nantinya pada akhir tahun 1969 dapat menentukan pilihannya.

Semenjak aneksasi hingga saat ini terus terjadi pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tanggal 26 Juli 1965 di Manokwari yang dipimpin oleh Sersan Mayor Permenas Ferry Awom yang merupakan bekas anggota Batalyon Sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers Korps).

Pemberontakan OPM yang Berawal di Manokwari tersebut kemudian menjalar terus ke seluruh Kabupaten di Papua (Irian Jaya) yaitu: Biak-Numfor, Sorong, Paniai, Fak-Fak, Yapen Waropen, Merauke, Jayawijaya, Tembagapura, Timika dan Jayapura.

Aksi Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilakukan dengan beberapa cara yaitu (1) aksi Perlawanan Fisik bersenjata atau aksi militer yang dilakukan secara sporadis, (2) aksi Penyanderaan, (3) Aksi Demonstrasi Massa, (4) aksi Pengibaran bendera West Papua, (5) aksi Penempelan dan Penyebaran Pamflet/Selebaran, (6) aksi rapat-rapat politik dan pembentukan organisasi perjuangan local, (7), aksi Pelintasan Perbatasan, (8) aksi Perusakan dan Pembongkaran, dan (9) aksi Politik.

Kata Moses, sejarah ini terus akan berkembang. “Perlawanan harus kita lanjutkan hingga titik darah penghabisan. Ingat, masalah Papua merdeka itu akan habis hingga kita Merdeka. Tidak satu perjuangan yang sia-sia. Perjuangan merdeka itu tidak akan sia-sia,” kata Moses.

Dance, teman dari Manokwari bicara soal perangkat Negara Papua Barat. Sejarah menyatakan dengan benar, jelas dan terbuka luas, bahwa pada tanggal 1 Desember 1961 melalui New Guinea Raad (Dewan Papua Barat) dan berdasar Staatsblaad No. 68 pada tanggal 18 Nopember 1961 dan bangsa Papua Barat secara ‘de facto’ menyatakan diri sebagai sebuah bangsa dengan dasar penetapan atribut Nasional Negara Papua Barat, yaitu: Lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”, Bendera Kebangsaan Bintang Kejora, Burung Mambruk sebagai lambang negara, serta Papua Barat sebagai sebuah nama Negara.

“Perlawanan keras petama kali terjadi di Manokwari oleh Ferry Awom bersaudara. Jadi, perlawanan terhadap Indonesia tidak akan pernah berakhir selama orang Papua ada di Papua. Terutama kami anak-anak muda sekarang sudah bersatu. Kami akan terus melawan,” kata Dance.

Orang Moni asal Intan Jaya ini bicara lebih teoritis. Katanya, pengakuan terhadap “kemanusiaan yang adil dan beradap” adalah upaya sadar manusia yang menghargai sejarah kebenaran. Setiap orang –rakyat Papua Barat maupun non Papua- tidak bisa memungkiri kebenaran. BENAR tetap BENAR. Lalu, kini dan selamanya, tanpa dibatasi waktu dan ruang. Sejarah kebenaran tidak dapat hilang, ataupun sengaja dihilangkan oleh keniscayan dunia: kebohongan, penindasan, pembodohan, pemiskinan, pemarginalisasian, penyangkalan, penyogokan, pemalsuan, peng-indonesianisasian.

Lagi-lagi teman dari Kurima, Sapen, mengatakan, pada masa tahun 1962-1969 ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah dikirim ke Papua untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana 'Act of Free Choice' terjadi. Saat itu, rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum, pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat Papua waktu itu yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.”Teman-teman ini sejarah kalah. Saat ini kita tidak boleh kalah! Kita harus menang,” kata Sapen.

Satu lagi saya saksikan, Deny Hisage (Lai-laki), pada 16 Maret 2006 di Abepura dibunuh oleh intelejen Indonesia dengan memotong perut dan keluarkan tali perutnya, dan banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer dan polisi. Tiga bulan sebelumnya, pada 20 Januari 2006 di Wagate, Kabupaten Paniai (sekarang Kabupaten Deiyai), anggota polisi Indonesia menembak mati Moses Douw.

Melky dari Puncak Jaya mengatakan, di kabupatennya telah lama terjadi perang rahasia hingga saat ini. Yang terjadi di depan dia adalah Kopassus membunuh Pendeta Elisa Tabuni, mereka menuduh pelakunya ialah anggota OPM, Goliat Tabuni dan Marunggen Wenda. Katanya, yang mengerikan adalah dalam operasi-operasi itu militer Indonesia membakar 23 gedung gereja, delapan gedung ibadah milik Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP, sembilan gedung ibadah milik Gereja Kemah Injil Papua (GKIP), enam gedung ibadah milik Gereja Injili di Indonesia (GIDI).

”Militer Indonesia itu binatang buas. Dia makan apa saja yang ada di depan dia. Saya trauma jadi tidak cerita soal penyiksaan dan pembakaran rumah warga dan ternak. Gereja saja mereka bakar. Jadi, perlawanan untuk merdeka itu harga mati. Siapa orang Papua yang main-main dengan perjuangan ini akan dimakan oleh tanah dan kalau tidak kami yang akan bunuh,” kata Melky.

Teman dari Sarmi (Derek) masih bicara sejarah kejahatan Negara. Katanya, pada periode 1970 – 1984 perlawanan rakyat Papua yang memprotes hasil 'Act of Free Choice' dalam bentuk berdirinya 'Organisasi Papua Merdeka' (OPM) menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah-wilayah yang diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM.

Ribuan pasukan militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut, kebebasan rakyat dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar. Operasi-operasi militer tersebut antara lain: Kasus Biak (1970/1980); Kasus Wamena (1977) dan Kasus Jayapura (1970/1980), kasus Nabire, kasus Paniai. Kasus 1984 di mana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12 000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.

Dia (Derek) juga mengatakan, pada periode 1985–1995 Operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan aparat keamanan, terutama di kawasan pegunungan tengah Papua Barat. Dari semua peristiwa yang terjadi 'Kasus Timika 1994/1995' yang melibatkan PT. Freeport Indonesia yang dilaporkan Keuskupan Gereja Katolik Jayapura di mana 16 orang dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5 perempuan ditahan dan diperkosa.

Selanjutnya pada periode 1996–1998 operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyandera para ilmuwan barat di wilayah Mapnduma, Pegunungan Tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996 - 1998. Menurut ELS-HAM Papua Barat (Mei 1998) Drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi militer baik pada masa penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja Kemah Injil Indonesia) dibakar musnah.

Pada periode 1998–2000 sejak tumbangnya Presiden Suharto pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di Papua Barat.

Teman dari Aceh dan Jawa ini diberi kesempatan untuk berkomentar. Tampak, mereka berapresiasi bagaimana dari sebuah pertanyaan yang terkesan main-main mengarah pada jawaban-jawaban yang serius. Banyak hal yang terungkap. Soleh, teman dari Aceh, mengatakan, kemerdekaan sebuah bangsa itu hak harga diri sebuah bangsa.

“Kawan-kawan, merdeka itu harga diri bangsa. Papua merdeka itu harga diri kalian sebagai bangsa Papua ras Melanesia. Jangan minta merdeka hanya karena lapar atau sakit. Harga diri lebih penting dari yang lain. Masa lalu Anda lalui dengan sakit, masa depan tidak boleh. Kalian harus berjuang untuk harga diri kalian. Indonesia belum selesai, kawan. Aceh akan lebih duluan jika Anda diam, lalu Burneo, Riau dan akan menyusul yang lain. Berjuang Terus, Merdeka Itu Harga Diri Bangsa Papua Barat!,” kata Soleh. ***

Selengkapnya...

Minggu, Mei 15, 2011

Tragedi Rahasia di Degeuwo West Papua

Nabire—Tahun 2003 ke bawah, Degeuwo adalah sebuah wilayah yang tidak dikenal orang. Daerah yang terisolasi, tanah kermat yang paling menakutkan bagi warga di luar Degeuwo di sekitar Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, dan Kabupaten Dogiyai. Namun, ketika seorang petani mendapat butiran-butiran emas saat mencabut tanaman kacang tanah miliknya pada 2003, daerah itu berubah wajah.

Selama 1 tahun (2003-2004), warga setempat mendulang secara tradisional, tanpa orang luar. Selanjutnya, sejak tahun 2004 akhir, berita tentang biji-biji emas di tanah keramat itu mulai menyebar luas. Orang dari sejumlah pelosok di seluruh tanah air Indonesia datang dan mulai mendirikan tenda di kawasan itu (mulai mendirikan kios, kafe, dan karaoke). Degeuwo seketika menjadi kota besar.

Lokasi penambangan tradisional Degeuwo sebagian besar termasuk dalam wilayah administrasi Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai. Lokasi penambangan ini berada tepat di pinggiran Sungai Degeuwo, maka disebut penambangan emas Degeuwo. Untuk menuju Degeuwo, harus menggunakan helikopter dari Nabire. Kini, lapangan terbang milik swasta telah dibangun di sana. Jalan kaki dari Enarotali, Paniai ditempuh dalam waktu 4-5 hari untuk menuju ke tempat pendulangan.


Tidak Hanya Dulang

Magaibo (45), warga Degeiwo beberapa pekan lalu di Nabire bercerita, selain menambang, banyak pendatang datang tidak hanya untuk dulang. Ada yang usaha biliar. Lalu, di biliar itu banyak perempuan. Banyak orang di biliar itu. Ada juga karaoke.

Ketua Aliansi Intelektual Suku Wolani dan Moni (AISWM), Thobias Bagubau di Nabire mengatakan, dari hasil kunjungannya di Degeuwo tercatat bahwa 27 kafe, 24 tempat biliar, 20 rumah pekerja seks komersial, kios pengusaha illegal 70 lebih, tempat jual minuman keras banyak. Dia juga mengatakan, di sana terdapat juga sarana TNI dan Brimob. “Ini bahaya sekali,” katanya.

Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobay mengatakan, perlahan-lahan persoalan sosial muncul. Ada pula perempuan yang dibawa ke wilayah operasi tambang itu dan menjadi pelacur. Dampak pelacuran, meski tersembunyi, kian marak dan penyebaran virus HIV dan AIDS terus merebak. Minuman keras dan hutan di sekitar wilayah penambangan rusak.

Melihat kondisi Degeuwo itu, berbagai pihak mengecam pengusaha tambang emas di Degeuwo. Pengusaha mendatangkan pekerja seks komersial di lokasi pertambangan dan memicu penularan HIV dan AIDS. Banyak pihak menilai, pengusaha di Degeuwo membuat rakyat menderita bukan hanya karena tanah adat diambil tanpa membayar tetapi juga karena miras dan penyakit. Sementara hutan juga hancur.

Data yang dihimpun Tabloid Suara Perempuan Papua menunjukkan bahwa pengusaha telah mendatangkan 430 PSK ke Degeuwo. Pekerja seks komersial ditempatkan di sejumlah rumah bordir di sekitar pertambangan. Dinilai, PSK didatangkan oleh pengusaha dan di-back up oleh aparat.

Harga barang di sana sangat mahal. “Mereka anggap semua orang di sini dulang. Padahal ada warga yang tidak dulang. Para pendatang kuasai pasar. Kami tidak bisa apa-apa. Mereka mendirikan kios-kios dengan harga barang di atas kewajaran. Beras satu kilo mereka jual dengan harga Rp50.000. Silet merk tatra 1 buah dijual dengan harga Rp10.000;. Harga sangat mahal. Kami setengah mati,” kata Magaibo bersaksi.


Salah satu warga, Stef (29) di Paniai (Senin, 11/8) mengelukan soal ratusan wanita penghibur yang didatangkan dari Jawa dan Sulawesi. Pengusaha datangkan Wanita Pekerja Seks Liar (WPSL) di sana. “Perempuan banyak,. Di sana terdapat ratusan tempat hiburan. Kafe, karaoke dan biliar yang disediakan juga minuman keras dan pelayannya adalah para wanita.

“Saya lihat, banyak warga lokal yang masuk di bar-bar. Mereka jajan di sana (berhubungan seks:red). Masuk di bar itukan stor emas. Kita bisa stor 2 gram sekali grak, hehe… Padahal, 2 gram itu kita dapat dengan stengah mati bru,” kata Stef.

Soal minuman keras, John NR Gobay mengatakan, peredaran minuman beralkohol yang dikirim dari Nabire dengan menggunakan jasa Helikopter makin meresahkan warga setempat. Minuman keras (miras) juga ikut memicu keributan dan dampak sosial lainnya. Ia menuding, miras merupakan rejeki bagi oknum aparat kepolisian, baik di KP3 Udara (Polsek Bandara Nabire) maupun di lokasi pendulangan. Setiap ada pemasokan miras, ada setoran Rp 500.000/karton.

Terkait miras dan WPSL, Ketua DAP Wilayah Meepago, Benny Edoway mempertanyakan kunjungan DPRP pada Desember 2009. “DPRP sudah turum pada Desember 2009. Saat itu kami sudah beri laporan tetapi tidak ada reaksi. Kami mau, pemerintah stop pendulangan. Bubarkan semua orang di Degeuwo. Kami mau tenang di tanah kami. Kami lihat semua kacau balau. Kami terancam habis di atas kekayaan kami. Pemerintah provinsi tolong buka mata,“katanya.
Sisakan Bahaya Merkuri

Hal lain yang dikeluhkan Stef (29) yang baru saja tiba di kota Enarotali (Senin, 11/8) dari tempat pendulangan adalah penggunaan air raksa atau merkuri (Hg) untuk memisahkan emas dan kotoran lain di tempat pendulangan.

Katanya, dulu, saat belum ada orang luar, warga mendulang tanpa menggunakan alat apa pun. Warga dulang secara manual tanpa mesin dan bahan kimia. Tetapi, kedatangan orang-orang luar Papua membawa juga mesin dan bahan kimia pemisah emas, merkuri. “Kami merasa kalah saing dengan mereka yang datang dari luar. Lalu, sebagai gantinya kami memilih menggunakan air raksa atau merkuri. Itu pun kalau ke kota dan beli,” katanya.

Bahan berbahaya itu digunakan untuk mengikat emas dalam bentuk amalgam. Emas kemudian dibebaskan lagi dengan menguapkan merkuri melalui cara pemanasan. “Harga merkuri memang mahal, namun lebih cepat. Satu ember pasir bercampur emas jika didulang dengan lenggangan butuh waktu berhari-hari, namun jika menggunakan satu ons merkuri seharga Rp300.000 hanya butuh waktu satu jam,” kata Stef.

“Dengan cara ini, lumayan cepat dan ada hasil. Tetapi, saya baru tahu kalau bahan itu berbahaya untuk manusia dan alam. Saya jadi tahu bahwa ternyata penambangan emas di Degeuwo itu telah menjadi sumber pencemaran merkuri,” kata lelaki beranak satu itu.

Jhon NR. Gobay telah lama berteriak soal merkuri dan soal lain di Degeuwo. Dikeluhkan, merkuri telah mencemari kali-kali yang menjadi sumber mata air warga di sana (warga setempat). Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Benny Edoway juga berkomentar soal bahaya merkuri.

“Warga pendulang emas di degeuwo harus meminum air yang tercemar merkuri itu karena tidak ada pilihan lain. Dewan Adat tahu kalau air yang tercemar merkuri itu berbahaya dikonsumsi, tetapi masalahnya kali-kali itu telah menjadi mata air warga di sana untuk konsumsi sehari-hari. Kami tidak tahu berapa kadar merkurinya, tetapi kami yakin air minum dan juga ikan-ikan yang biasa dimakan warga telah tercemar merkuri," kata Edoway.

Benny Edoway membantah pernyataan Kepala Kepolisian Papua Bekto Suprapto yang mengatakan, aktivitas penambangan emas di Paniai dan Nabire tidak mencemari lingkungan seperti yang dilangsir KBR68H Jakarta, 24 Februari 2010 lalu. “Dia hanya lihat-lihat dari helicopter lalu mengatakan pendulang tidak memakai mercuri. Padahal kenyataannya, pendulang pakai merkuri,” kata Benny.

Sebelumnya Solidaritas Penyelamatan Tanah, Hutan dan Orang Asli Papua (Setahap) dan Dewan Adat Paniai meminta Pemerintah Daerah Papua segera menutup penambangan emas liar Paniai. Alasannya, selain tidak punya izin, Sungai Degeuwo menjadi tercemar dengan merkuri dan arsenic gara-gara aktivitas itu. Tanah yang dulu subur kini menjadi tandus dan gersang. John Gobay juga meminta aktivitas 50-an pendulang emas liar dihentikan. “Pinggiran sungai sudah terkikis akibat alat berat yang digunakan para pendulang ,” katanya.

Gobay juga menuturkan, aktifitas penambangan emas liar yang sudah berlangsung sejak 2002 telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat, misalnya hak atas tanahnya dan juga pengabaian atas pembagian kompensasi hasil pendulangan emas.

Direktur Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema), Hanok Pigai, S.E., di Nabire mengatakan, belasan sungai di Degeuwo telah tercemar merkuri, dan rata-rata telah melampaui ambang batas. Di setiap kali itu sekurangnya terdapat 60 unit mesin milik penambang emas warga pendatang yang beroperasi. Di Nonouwo Dide jumlah penambang banyak dan 480 unit mesin. Jadi, dalam tiga bulan setiap mesin membuang satu kilogram merkuri. Artinya, mereka membuang merkuri sekitar dua ton. Kalikan saja sendiri secara matematis. Betapa bahayanya,” kata Hanok.

Kembali Edoway mengutip hasil penelitian Moses Nicodemos, kadar merkuri di permukaan air kali-kali tersebut itu sudah mencapai 0,008 miligram per liter padahal, ambang batasnya 0,001 miligram per liter. Yuliana Pakan, S.T., alumna Teknik Industri, Jurusan Kimia dari Universitas Kristen Paulus Makassar membenarkan adanya ambang batas air.
Katanya, jika sudah melewati 0,008 miligram itu sudah berbahaya bagi manusia. “Yang jelas, ada ambang batas. Ada aturannya. Lewat dari aturan ada batasnya. Itu tugasnya, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Merkuri itu salah satu jenis logam yang banyak ditemukan di alam dan tersebar dalam batu-batuan, biji tambang, tanah, air dan udara sebagai senyawa anorganik dan organik. Jadi, berbagai jenis aktivitas manusia dapat meningkatkan kadar ini, misalnya aktivitas penambangan yang dapat menghasilkan merkuri sebanyak 10.000 ton / tahun,” kata Pakan.

Gejala-gejala yang diakibatkan oleh tercemar merkuri seperti ayan, tangan gemetar, pelupa, mati rasa, sulit tidur, sakit kepala terus-menerus, serta berkurangnya pendengaran dan penglihatan, dan juga cacat janin bagi ibu hamil.

Pada kesempatan yang berbeda, kepada wartawan (Kamis, 28/8), Alumnna Geofisika dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta Riyanawati, S.Si., mengungkapkan khawatirannya atas penggunaan merkuri di pendulangan emas Degeuwo. “Merkuri itu zat kimia yang sangat berbahaya. Bahanyanya tidak bisa langsung tetapi lima enam tahun ke depan. Pada pH rendah, merkuri menjadi larut dan diubah oleh jasad renik menjadi metilmerkuri yang stabil, sukar diurai, sangat beracun, dan larut dalam air," kata Riyanawati.

Polisi Mengeruk
Beberapa warga mengeluh, polisi sering mengeruk. “Jika terjadi masalah tanah (hak ulayat) polisi membela pengusaha. Kami ditakuti dengan senjata. Padahal itu tanah kami. Pengusaha bayar polisi,” kata Paulus berkisah.

”Kami minta Rp15 juta, mereka bayar Rp10 juta. Dong tipu banyak. Dong kasih kami Rp 10 juta dengan lembaran uang seratusan, tetapi sisanya dong bayar pakai puluhan ribu. Kami tidak tahu hitung. Pada waktu itu polisi bilang, ‘itu uang banyak itu kami minta apa lagi’. Kami tidak tahu hitung, maka percaya saja. Apalagi polisi takuti kami saat membayar,” kata Magaibo warga Degeuwo di Nabire belum lama ini.

Kapolres Paniai, AKBP Mirzal Alwi, S.Ik mengatakan, aparat kepolisian sering ditugaskan di Bayabiru dalam rangka mengawasi keamanan di lokasi pendulangan dan sekitarnya. “Di lokasi pendulangan harus ada aparat keamanan. Kalau tidak ada, siapa yang mau amankan jika ada terjadi apa-apa,”kata Alwi.

Dikabarkan, Mirzal Alwi pernah berjanji , jika ada anggota yang bertindak diluar prosedur dan melanggar aturan, tetap akan diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun, dinilai warga, polisi berlaku di luar prosedur tetapi jarang diproses sesuai aturan walaupun ada laporan warga.

Degeuwo Tutup

Berbagai pihak merekomendasikan pemerintah Kabupaten Nabire dan Paniai bersama pemerintah provinsi Papua duduk bersama untuk membicarakan berbagai soal ini dan menutup pertambangan itu. Banyak pihak menilai, jika tidak ditutupi wilayah itu benar-benar mengancam. Dinilai berbagai kunjungan yang dilakukan oleh DPRP provinsi Komisi A pemerintah Paniai, Pemerintah Nabire, dan pekerja kemanusiaan belum membuahkan hasil keputusan yang jelas.

“Membicarakan untuk tutup Degeuwo adalah hal urgen. Bubarkan seluruh aktivitas di sana. Bubarkan semua orang yang ada di sana,” kata Dewan Adat Wilayah Mepago, Benny Edoway.

Anggota Komisi A DPRP, Harun Agimbau beberapa waktu lalu berkomentar, masalah ini sudah sangat urgen, sebab menuju pada genoside orang asli Papua, terutama wilayah di distrik Biandoga dan Bogobaya (pintu masuk Paniai). Di sisi lain ada berbagai lokalisasi dan tempat-tempat hiburan yang tidak membangun,” katanya.

Ia menyesalkan adanya upaya Polda Papua, walaupun sudah turun ke lapangan namun belum dapat menindak tegas pelaku-pelaku yang merusak tanah dan warga asli Papua di Degeuwo. Katanya, kemungkinan ada kekuatan besar yang bermain di sana seperti militer,” katanya.

Katanya, hasil kunjungan DPRP pada Desember 2009 sudah dilaporkan ke Presiden Indonesia, dan pihak-pihak terkait di Jakarta, termasuk Polri dan Kasad TNI. “Kami sudah laporkan ke pemerintah pusat tetapi belum ada reaksi juga,” katanya.

Anggota DPRD Nabire, Henky Kegou, S.H. mengatakan (Senin, 25/8) di Nabire mengatakan, pendulangan di Degeuwo itu tidak menguntungkan bagi rakyat maupun pemerintah. “Kalau tidak menguntungkan untuk apa pengusaha-pengusaha itu dibiarkan merusak moral rakyat dan hutan di sana. DPRD Nabire terus memantau pendulangan itu dan benar-benar merugikan. Kita harus tutup,” katanya.


Kata Henky, basecamp Helikopten di Nabire tetapi tidak ada sumbangan untuk pemerintah juga. “Kita harus hentikan jalur transportasi helikopter lewat Kabupaten Mimika, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Paniai serta Kabupaten Nabire.

Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai mengatakan, pengusaha di sana nakal. “Pengusaha di sana agak nakal. Tampaknya ada dukungan oknum dari militer atau kepolisian. Surat edaran Bupati Paniai pada akhir 2009 saja tidak dianggap. Mereka mau dengar siapa. Tidak ada sumbangan bagi pembangunan. Kalau kita mau selamatkan manusia dan alam di sana, solusinya tutup,” kata Magai. ***

Selengkapnya...

Rabu, Mei 11, 2011

Ternyata, Papua Masih DOM

Kekerasan negara terhadap rakyat, belum juga berakhir. Meski kini bukan Orde Lama ataupun Orde Baru, perlakuan negara melalui perangkatnya, tetap tak berubah. Selalu terjadi. Di Era Reformasi hingga hadirnya Otonomi Khusus, jumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, justru meningkat.

“Ternyata Papua ini masih Daerah Operasi Militer (DOM),” ujar Ketua Solidaritas Rakyat Papua Anti Militerisme (SR-PAM), Benny Goo saat jumpa pers di Abepura, Jayapura, Kamis (28/4) lalu.

Pernyataan sama kerapkali dilontarkan para Tokoh Papua dalam berbagai kesempatan berbeda. Seperti Ketua Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yoboisembut beberapa hari lalu, Ketua Umum Front Pepera Papua Barat, juga menegaskan, “Papua menjadi ladang pembantaian demi meloloskan kepentingan terselubung Negara Indonesia selama ini. Paket Otsus hanya menghasilkan penderitaan panjang rakyat Papua. Pembunuhan terorganisir oleh negara melalui aparatus terjadi di hampir semua lini kehidupan orang Papua.”

Bukti bahwa Papua masih berstatus DOM, sebut Benny, adalah penembakan terhadap warga sipil di Moanemani, Distrik Kamuu, Kabupaten Dogiyai, dua pekan lalu (13-14/4). “Menewaskan dua orang dan tiga lainnya luka parah, itu sudah termasuk kasus pelanggaran HAM serius.”

Insiden berdarah di Moanemani dikategorikan sebagai pelanggaran HAM serius, menurut dia, karena warga ditembak di tempat tanpa ada tembakan peringatan ke arah udara. Aparat gabungan TNI dan Polri didrop dari kabupaten tetangga, kemudian melakukan penyisiran dari rumah ke rumah. Warga langsung mengungsi dan enggan kembali ke rumah karena merasa trauma.

Dipaparkan, pertumpahan darah di Tanah Papua bukan hal baru lagi. Sudah 48 tahun lamanya, sejak Papua dianeksasi kedalam Negara Kesatuan Indonesia (NKRI), 1 Mei 1963, represitas negara terhadap masyarakat Papua telah melahirnya sejarah panjang penderitaan yang belum berakhir. “Rangkaian fakta memilukan semalam Papua ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), meski kemudian status DOM dicabut tahun 1999, tindakan pembunuhan masih terus berlanjut hingga hari ini,” ungkapnya lagi.

Dalam sejarah Papua, tercatat sejumlah operasi militer. Mulai Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bratayudha (1967), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapnduma (1996) dan operasi penumpasan lainnya di Tanah Papua.

“Selama represitas negara terus terjadi dimana-mana di seluruh Tanah Papua, tiada waktu jedah bagi masyarakat untuk bisa hidup nyaman dan aman. Bahkan pasca Otsus diberlakukan, kekerasan negara masih saja terjadi, hingga warga sipil selalu menjadi sasaran,” kata Benny.

Akvitis HAM, Elly Petege saat jumpa pers itu menilai angin “Reformasi” yang berhembus tahun 1998, memang memberi peluang bagi masyarakat Nusantara untuk bebas berekspresi di muka umum. “Namun realitanya, tindakan dari waktu ke waktu tetap tidak berubah. Kasus pelanggaran HAM terus saja meningkat. Di era Otsus, jumlah kasus banyak dan tak satupun diproses tuntas,” tandasnya.

Disebutkan, sejak Otsus diberlakukan di Tanah Papua, sudah banyak terjadi kasus pelanggaran HAM. Sebut saja di Wasior (2001), Wamena (2003), Puncak Jaya (2004), penculikan dan pembunuhan Ketua PDP Theys Hiyo Eluay (2001), penembakan Moses Douw di Waghete (2004), pembunuhan Opinus Tabuni di Wamena (2008), penembakan Yawan Wayeni di Serui (13 Agustus 2009), penembakan Melkias Agapa di Nabire (2010), pembunuhan Kelly Kwalik di Timika (2010), penembakan terhadap Dominikus Auwe dan Aloysius Waine di Dogiyai (2011) serta kasus pembunuhan lain yang menewaskan orang Papua.

“Tindakan aparat terhadap orang Papua selalu berakhir tragis. Pertumpahan darah yang masih terus terjadi di Tanah Papua adalah usaha mencapai target terselubung yakni genosida. Mau memusnahkan etnis Melanesia secara perlahan-lahan,” ungkapnya.

Penembakan terhadap warga sipil di Moanemani, Kabupaten Dogiyai (13 dan 14 April 2011), kata dia, adalah bagian dari usaha tersebut. “Hentikan segala tindak kekerasan. Orang Papua bukan binatang yang seenaknya dibunuh. Orang Papua adalah ciptaan Tuhan, sama seperti kalian. Jadi, jangan lagi ada pelanggaran HAM di Tanah Papua.”

“Kami mendesak tanggung jawab negara terhadap insiden berdarah di Moanemani. Kapolda Papua segera usut tuntas pelaku penembakan itu,” tekan Benny. (Markus)

sumber: www.tabloidjubi.com



Selengkapnya...

Senin, Mei 09, 2011

Pemerintah Pusat Didesak Buka Dialog Jakarta – Papua

Pemerintah pusat di Jakarta didesak segera membuka diri menerima dialog Jakarta – Papua. Lantaran dialog itu menyelesaikan masalah Papua secara terhormat.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat, Yan Cristian Warinussy kepada JUBI via ponsel, Sabtu (7/5) pagi. “Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mau membuka diri untuk menerima penyelenggaraan dialog Jakarta – Papua,” tandasnya.

Menurut Warinussy, dialog itu penting karena didalamnya menyelesaikan segudang masalah di Papua secara terhormat dan bermartabat. Perkara perselisihan pendapat antara pemerintah pusat dan Papua tentang status politik sebelum dan sesudah pasca tindakan pemilihan bebas (Act of free choice) pada tahun 1969 di Papua akan tuntas.

Dia menambahkan, jika pemerintah Indonesia belum membuka ruang maka secara tidak langsung memberikan konflik terus menerus menimpa Papua. “Kalau belum ada dialog maka konflik Papua akan terus menerus menggunung,” ujarnya.

Awalnya, dialog Jakarta – Papua digagas oleh pater Neles Tebay, Rektor Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur (STFT) di Abepura, Jayapura. Tebay menuangkan gagasan tersebut dalam sebuah buku bertajuk ‘Dilog Jakarta – Papua, Sebuah Perspektif Papua.’ Buku setebal 52 halaman itu mengulas panjang lebar soal point-point penting dalam dialog.

Diantaranya, pentingnya dialog konflik Papua, adanya kemauan berdialog, tidak membahas kemerdekaan dalam dialog, pemerintah mesti meyakinkan orang Papua, dibutuhkan kerangka acuan dialog, prinsip-prinsip dasar tujuan dialog : menciptakan Papua, tanah damai dan target-target dialog. (Musa Abubar)

Sumber: http://www.tabloidjubi.com/daily-news/jayapura/12112-pemerintah-pusat-didesak-buka-dialog-jakarta--papua-.html


Selengkapnya...

Semua Adalah Dombaku

Dari atas awal tebal, seputih salju
suara memecah …
hai gembalaku, para gembala, dengarkanlah suara ini:

Gembalakanlah domba-dombaku
domba-domba yang unik ini
ada yang liar di hutan dan suka berontak
ada yang di kota dan suka memangsa
ada yang manut, suka dengar-dengaran
ada yang kepala batu tapi suka menolong
ada dombaku yang cerdik, dia rakus dan pura-pura
dombaku, ada juga penakut
ada domba pekerja
ada domba pemikir

Juga, saya punya domba pemalas sehingga ketika
makanan datang suka berkelahi… dia tukang buat kacau
dan retak

Satu hal lagi, dombaku ini ada yang pandai mencari perhatian
ada yang suka menipu
bahkan ada yang tidak akan pernah datang ke rumah
dombaku yang di rumah akan membangun kerinduan patuh dan manut pada yang jalang

Gembalaku, karena dombaku banyak, mereka suka macam-macam di antara mereka sendiri
domba-dombaku juga suka membangun kelompok dan kadang mereka kotak-kotak
mereka kadang-kadang suka memaksa dan seringkali menunjukkan arogansi
domba yang besar suka tunjuk kebesaran
itulah domba-dombaku

Para gembalaku, dengan bantuanKu gembalakanlah mereka,
yang penting gembala tahu domba-dombaku
dombaku unik dan berwarna-warni
semua adalah dombaku…!

Lautan Rumput Hijau di Belantara Papua Barat, akhir 2009

Selengkapnya...

Mimpi, Kiamat di Papua

Dunia, saya bermimpi...
mimpi tidak di siang terik
walau kata Suradi, mimpi itu bunga tidur

mimpi kali ini, agak aneh
mimpi dari hadap hidup
mimpi tanpa ngorok
mata sedang memandang, ini dunia

Beginilah mimpi itu sodaraku, ...
tanah-tanah keramat hancur lebur
sungai bening teracuni
hutan-hutan dibabat habis di atas tanah yang telah terjual
gunung-gunung rata dihantam baja nakal
penggempuran di sana, di Serui
panji-panji bertiup di Samarai
Sorong, tenda-tenda merah terbangun
produksi kabar kiamat di Numbay
Timika, wartakan Papua pada dunia
Amerika di Timika
Inggris di Bintuni
di gunung saljuku, ada Jerman dan Autralia
sekitar Nabire, pantai India
kampung-kampung Key di Gereja
kota-kota Toraja di birokrasi
Bugis di jalan dan di pasar
di mana-mana ada Jawa
Batak, tak di sana, tik di sini
Dayak, menunggu kiamat di Burneo

Semua menjadi penuh warna di tanah ini
warna-warna yang terang dan mencolok
lalu, saya terbangun rintihan kita
... mereka menanti kiamat beranak cucu
kita di sini, terlelap zaman
tarian dan nyanyian mereka menanti kiamat
bertanda KITA TELAH TIADA...

[Kamar Penantian Kiamat, akhir 2009]




Selengkapnya...

----------------------------------------------------------------------------------------
Perjuangan pembebasan nasional Papua Barat bukan perjuangan melawan orang luar Papua (Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Ambon dan lainnya) tetapi perjuangan melawan ketidakadilan dan pengakuan akan KEMANUSIAANNYA MANUSIA PAPUA BARAT DI ATAS TANAH LELUHURNYA.Jadi, Merdeka bagi orang Papua adalah HARFA DIRI BANGSA PAPUA BARAT!