... Menulis tentang apa yang saya saksikan dengan MATA, HATI, dan PIKIRAN ke-MELANESIA-an saya di West Papua sebelum menerima salah satu bagian dari hidup yang mutlak, yakni KEMATIAN...

Jumat, Juni 18, 2010

OTONOMI KHUSUS PAPUA

Manis di Bibir Jakarta, Duka Lara bagi Rakyat Papua 
Oleh Markus Haluk*)

Pada 9-10 Juni 2010 Majelis Rakyat Papua (MRP) menyelenggarakan musyawarah besar. Ia dilakukan bersama antara MRP dan masyarakat asli Papua dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Masyarakat asli Papua, dari berbagai daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat hadir, dalam musyawarah di Jayapura. Eksekutif dan legislatif dari kedua provinsi turut diundang pula. Sementara dari pemerintah Pusat, yang diundang dan hadir secara langsung, termasuk Direktur Otonomi Khusus pada Departemen Dalam Negeri dan Desk Papua Polhukam.

Tujuannya, mendapat masukan secara menyeluruh tentang pelaksanaan Otonomi Khusus selama sembilan tahun di tanah Papua.

Ketua Majelis Rakyat Papua Drs. Agus Alue Alua menyampaikan bahwa pengalaman perjuangan MRP tentang hak-hak dasar orang asli Papua selama lima tahun menunjukkan dalam implementasi UU Otonomi Khusus terdapat inkonsistensi sikap dan perbuatan pemerintah Pusat dan Daerah terhadap pelaksanaan otonomi.

Secara substansial ada tiga sebab munculnya aspirasi Papua merdeka: (1) Status politik Papua dalam NKRI bermasalah. Rakyat Papua yakin sudah merdeka 1 Desember 1961. Mereka percaya pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat 1969 cacat hukum dan moral; (2) Pelanggaran HAM pada rakyat Papua, termasuk ekploitasi sumber daya alam, terjadi terus-menerus; (3) Kegagalan pembangunan selama 37 tahun di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur. Simbol utama kepercayaan pada kemerdekaan ialah bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua dan lambang Burung Mambruk.

Puncak dari penyampaian aspirasi politik Papua ialah Tim 100 pada 26 Februari 1999 di Istana Negara di hadapan Presiden B.J. Habibie. Menanggapi aspirasi rakyat Papua, pemerintah Pusat menyetujui perbaiki kesejahteraan melalui pembangunan agar meminimalisir aspirasi politik dan pelanggaran dengan ditetapkannya TAP MPR IV MPR/1999.

Adapun semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah Pusat kepada rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua, dalam segala segi pembangunan, agar meminimalisir aspirasi merdeka orang Papua untuk keluar dari NKRI dan menyelidiki, mengadili dan menghukum pelanggaran berat HAM Papua selama 40-an tahun.

Maka program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah Provinsi harus mengambil tiga kebijakan prioritas utama yakni kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative policy and action) terhadap orang asli Papua, kebijakan dan aksi perlindungan (protective policy and action) terhadap orang asli Papua serta kebijakan dan aksi pemberdayaan (empowerment) terhadap orang asli Papua.

Pemerintah Sibuk Memikirkan Uang Otonomi Khusus

Ternyata selama sembilan tahun pelaksanaan UU Otonomi Khusus di tanah Papua, pemerintah lebih sibuk memikirkan dan mengerjakan bagaimana dana Otsus diperoleh (dicairkan di pusat), dibagi (di Provinsi dan Kota/ Kabupaten) dan dipertanggujawabkan (kepada pemerintah pusat). Demikian pula sejumlah perdasus yang dihasilkan pun belum terlihat terobosan baru untuk menolong dan menyelamatkan orang asli Papua di atas tanah leluhurnya. Buku Papua Road Map karya Muridan Widjojo dkk dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memaparkan warga asli Papua terancam hidup mereka di kampung halaman sendiri.

Musyawarah Juni ini menilai bahwa implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus sejak tahun 2001 hingga kini tidak membawa perubahan yang signifikan dalam hidup orang Papua. Tiga kebijakan tersebut tidak dilaksanakan oleh Jakarta. Ini terbukti dari sejumlah fakta yang adalah duka lara yang dialami masyarakat Papua.

Awalnya, penculikan ketua Presidium Dewan Papua Theys H. Eluai oleh Kopasus pada 10 November 2001. Aparat keamanan Indonesia terus melakukan pembunuhan kilat, penembakan, penangkapan dan pemenjarahan para aktivis pro-demokrasi dan hak asasi manusia di Papua. Pemerintah juga mengeluarkan berbagai Undang-undang Pemekaran Kabupaten dan Provinsi, Intruksi Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, yang semuanya bertentangan dengan UU. No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah juga tidak berhasil dalam menangani illegal loging, illegal mining dan illegal fishing di tanah Papua maupun pengambilalihan tanah adat untuk pembangunan infrastruktur militer dan sipil lewat manipulasi, tekanan, terror dan intimidasi serta, tentu saja, janji-janji kosong.

Majelis Rakyat Papua tak Berdaya

Pada 26 Desember 2004, sebagai kado Natal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengantar PP. No. 54 tentang Majelis Rakyat Papua. Semula rakyat Papua banyak menaruh harapan akan peran lembaga ini, namun setelah dilakukan kajian yang mendalam tentang fungsi dan peranannya, ternyata isinya kosong alias gigi ompong.

Setelah lembaga ini terbentuk, semua keputusan terkait keberpihakan, perlindungan dan penyelamatan orang Papua, tidak satu pun diindahkan oleh Jakarta. Kami mencatat sejumlah keputusan yang diambil dari MRP dalam melaksanakan amanah Undang-Undang No. 21 tentang Otonomi Khusus tahun 2001; hasil Konsultasi Publik tentang Provinsi Irian Jaya Barat pada November 2005, dimana saat itu rakyat Papua dengan bulat menyatakan menolak Prov Irian Jaya Barat, namun Jakarta tidak menanggapi hasil konsultasi publik tersebut namun sebaliknya melalui Depdagri menunjuk Komisi Pemilihan Umum Pusat untuk menyelenggarakan Pemilihan Gubernur Prov. Irian Jaya Barat pada 11 Maret 2006, demikian pula Surat Keputusan MRP No. 14 tahun 2010, tentang Calon Wali Kota/Wakil Wali Kota dan Bupati/Wakil Bupati juga Jakarta lagi-lagi menolak keputusan tersebut.

Pemerintah Mesti Membuka Diri

Dengan melihat kegagalan pemerintah dalam menginplementasikan UU Otonomi Khusus Papua, kita perlu mencari solusi guna menyelesaikan persoalan Papua secara kontinyu, konprehensif, damai dan bermartabat. Jalan yang bijak dan bermartabat saat ini ialah keterbukaan pemerintah dalam pernyelesaian persoalan Papua melalui dialog antara orang Papua dengan pemerintah Pusat, yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Pilihan dialog merupakan salah satu solusi bijak dalam penyelesaian persoalan Papua saat ini.

*)Markus Haluk adalah Sekretaris Jendral Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia.

Sumber:http://andreasharsono.blogspot.com/2010/06/otonomi-khusus-papua.html

Tidak ada komentar:

----------------------------------------------------------------------------------------
Perjuangan pembebasan nasional Papua Barat bukan perjuangan melawan orang luar Papua (Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Ambon dan lainnya) tetapi perjuangan melawan ketidakadilan dan pengakuan akan KEMANUSIAANNYA MANUSIA PAPUA BARAT DI ATAS TANAH LELUHURNYA.Jadi, Merdeka bagi orang Papua adalah HARFA DIRI BANGSA PAPUA BARAT!