... Menulis tentang apa yang saya saksikan dengan MATA, HATI, dan PIKIRAN ke-MELANESIA-an saya di West Papua sebelum menerima salah satu bagian dari hidup yang mutlak, yakni KEMATIAN...

Kamis, Juni 24, 2010

Otonomi dan Potensi Refrendum di Papua

Oleh: M Rizwan Haji Ali*)

PEMERINTAH ERA SBY sejauh ini dilihat sebagai satu-satunya pemerintah setelah reformasi yang berhasil meredam isu separatisme di Indonesia. Penilaian ini terutama muncul ketika Jusuf Kalla berhasil mendamaikan Aceh dan mendorong GAM untuk melakukan transformasi menjadi partai politik lokal di Aceh. Konflik bersenjata di Aceh yang telah berlangsung lebih tiga dekade dan menjadi beban Jakarta selesai di tangan saudagar Makassar itu. Padahal, menurut Jusuf Kalla, RI mempersiapkan perang seratus tahun dengan Aceh kalau perdamaian tidak tercapai.

Dalam analisnya tentang kebijakan keamanan Indonesia di Aceh selama masa reformasi, Michele Anne Miller (2008) mengambarkan bagaimana beragamnya upaya pemerintah pusat dalam menangani konflik di Aceh dan Papua. Pemerintah reformasi mengadopsi strategi represif operasi militer, tawaran otonomi, pembicaraan damai dan kombinasi dari semua pendekatan tersebut. Era Megawati merupakan era paling berdarah bagi Aceh karena di bawah keputusan politiknya, Aceh diperintah di bawah status operasi militer dan penduduk Aceh wajib menggunakan identitas KTP merah putih yang tidak dikenal di daerah lain.

Di era SBY-JK, pemerintah pusat menggantikan pola pendekatan represif ke pendekatan tawaran otonomi dan pembicaraan damai. Tsunami kemudian memicu pendekatan ini menjadi sukses, sehingga perang seratus tahun seperti yang disebut Jusuf Kalla tidak jadi berlangsung di Aceh.

Namun, setelah JK pergi dan SBY memerintah di terma kedua pemerintahannyan , berita mengejutkan datang dari Tanah Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) memutuskan untuk menolak dan mengembalikan otonomi khusus dalam sebuah demontrasi di sana pekan lalu. Para demonstran membawa spanduk yang bunyinya menuntut pelaksanaan referendum di Papua, tolak otonomi khusus, dan tuntutan kemerdekaan di Papua. Para demonstran juga menuntut dialog dengan Jakarta harus melibatkan pihak ketiga, dan menyuarakan bahwa otsus gagal menjawab masalah rakyat Papua.

Situasi ini mengingatkan kita pada kondisi politik di Aceh sebelum perdamaian, terutama ketika tuntutan referendum yang dimobilisasi oleh SIRA tengah semangat digelorakan di Aceh. Tuntutannya sama, hanya saja, gerakan referendum di Aceh tidak secara terbuka menuntut kemerdekaan Aceh. Aktivis referendum Aceh juga menuntut penglibatan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik Aceh.

Kini situasi itu mulai menggejala di Papua. Adakah ini strategi Papua untuk mengikuti jalan damai Aceh, atau memang tuntutan kemerdekaan sudah mengalami radikalisasi disana, hanya orang Papua yang tahu jawabannya.

Otonomi dan Konflik

Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apa kontribusi otonomi khusus terhadap masyarakat Papua dan mengapa otonomi malah memperbesar konflik.

Dalam studi tentang penyelesaian konflik disebut bahwa kebijakan pemberian otonomi kadang menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, otonomi dimaksudkan upaya untuk melakukan desentralisasi kekuasaan, mekanisme kompromi politik, secara administratif bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan juga sebagai mekanisme untuk menjaga integritas territorial sebuah negara. Namun, di sisi lain, otonomi juga berpotensi memperkuat identitas kelompok minoritas dan ini mendorong kelompok minoritas ini meningkatkan tuntutan mereka ke level yang lebih otonom atau bahkan ke level kemerdekaan.

Menurut studi Svante E Cornell (2002), otonomi bisa memperbesar konflik di sebuah kawasan dengan sejumlah cara. Dia mengulas, “There are two ways in which the institution of autonomous regions could be conceived of as conducive to secessionism: first of all by institutionalizing and promoting the separate identity of its titular group, thereby increasing group cohesion and the incentives of the group to act; and secondly by its political institutions that increase the capacity of the group to act." (Svante E Cornell (2002:15-16).

Di samping itu, menurutnya, otonomi bisa berubah menjadi konflik ketika daerah otonom melakukan sejumlah hal. Pertama, parlemen lokal mengumumkan penolakan terhadap pemberlakuan seluruh aturan nasional di daerah tersebut. Kedua, mereka mengumumkan bahwa kedaulatan pemerintah pusat sudah berakhir atau batal, ketiga menyerukan sebuah upaya pengumuman kemerdekaan bagi daerah otonom ini.

Kasus serupa pernah terjadi di Ossetia Selatan dan Abhkazia yang ingin memisahkan diri dari Georgia yang memicu perang antara Rusia dan Georgia tahun 2008 lalu. Kedua daerah ini menolak kedaulatan politik Georgia ke atas dua provinsi tersebut melalui keputusan parlemen mereka. Adakah Papua sedang menelusuri scenario ini? Wallahu’alam.

Kekecewaan Papua

Kekecewaan Papua terhadap otonomi khusus lebih mudah dipahami oleh orang Aceh ketimbang penduduk Indonesia lainnya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau orang Indonesia lain mungkin marah dengan aksi pengembalian otonomi kepada pemerintah pusat, respon dari Aceh saya yakin berbeda. Aceh memahami suasan kebatinan masyarakat Papua.

Sebenarnya problem yang dihadapi masyarakat Papua setelah mendapat otonomi mungkin sama dengan problem di Aceh. Masyarakat mengharapkan supaya otonomi bisa menciptakan perubahan bukan hanya semata-mata dalam pembagian kekuasaan politik yang hanya dinikmati oleh elit politik lokal, tetapi juga terciptanya perubahan taraf hidup masyarakat lokal. Namun, faktanya, di Papua dan mungkin juga Aceh, harapan itu seperti jauh dari kenyataan.

Secara jujur harus diakui bahwa persoalannya bukan melulu pada niat baik atau political will Jakarta, ketidakmampuan pemerintah lokal untuk memanfaatkan peluang otonomi dengan membangun pemerintahan yang bersih dan bertanngungjawab juga menjadi masalah penting. Ketidakberanian pemerintah lokal untuk melakukan terobosan dan ketakutan terhadap aturan-aturan nasional yang memang ingin mngikat daerah, adalah faktor lain yang membuat otonomi menjadi simbol politik desentralisasi semata.

Kegagalan cita-cita otonomi merupakan kontribusi pemerintah pusat yang tidak ingin memperkuat pemerintah lokal dan ketidakberanian pemerintah daerah untuk berpikir di luar kotak.

Papua merupakan contoh gagalnya otonomi khusus, dan apakah penolakan otsus ini akan mengantar Papua ke level otonomi politik yang lebih tinggi, itu sangat tergantung pada kemampuan aktivis politik di sana dalam memainkan tekanan kepada Jakarta. Yang terpikirkan oleh saya saat ini, adakah Aceh satu ketika nanti akan mengalami nasib yang sama dengan Papua? Tuan-tuan di pemerintah dan parlemen Aceh tentu lebih tahu jawabannya. Wallahu’alam bisshawab.[]

*)Dosen Ilmu Politik, Universita Malikussaleh dan Mahasiswa Ph.D Ilmu Politik, IIUM, Kuala Lumpur.


Tidak ada komentar:

----------------------------------------------------------------------------------------
Perjuangan pembebasan nasional Papua Barat bukan perjuangan melawan orang luar Papua (Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Ambon dan lainnya) tetapi perjuangan melawan ketidakadilan dan pengakuan akan KEMANUSIAANNYA MANUSIA PAPUA BARAT DI ATAS TANAH LELUHURNYA.Jadi, Merdeka bagi orang Papua adalah HARFA DIRI BANGSA PAPUA BARAT!