Oleh: M Rizwan Haji Ali*)
PEMERINTAH ERA SBY sejauh ini dilihat sebagai satu-satunya pemerintah setelah reformasi yang berhasil meredam isu separatisme di Indonesia. Penilaian ini terutama muncul ketika Jusuf Kalla berhasil mendamaikan Aceh dan mendorong GAM untuk melakukan transformasi menjadi partai politik lokal di Aceh. Konflik bersenjata di Aceh yang telah berlangsung lebih tiga dekade dan menjadi beban Jakarta selesai di tangan saudagar Makassar itu. Padahal, menurut Jusuf Kalla, RI mempersiapkan perang seratus tahun dengan Aceh kalau perdamaian tidak tercapai.
Dalam analisnya tentang kebijakan keamanan Indonesia di Aceh selama masa reformasi, Michele Anne Miller (2008) mengambarkan bagaimana beragamnya upaya pemerintah pusat dalam menangani konflik di Aceh dan Papua. Pemerintah reformasi mengadopsi strategi represif operasi militer, tawaran otonomi, pembicaraan damai dan kombinasi dari semua pendekatan tersebut. Era Megawati merupakan era paling berdarah bagi Aceh karena di bawah keputusan politiknya, Aceh diperintah di bawah status operasi militer dan penduduk Aceh wajib menggunakan identitas KTP merah putih yang tidak dikenal di daerah lain.
Di era SBY-JK, pemerintah pusat menggantikan pola pendekatan represif ke pendekatan tawaran otonomi dan pembicaraan damai. Tsunami kemudian memicu pendekatan ini menjadi sukses, sehingga perang seratus tahun seperti yang disebut Jusuf Kalla tidak jadi berlangsung di Aceh.
Namun, setelah JK pergi dan SBY memerintah di terma kedua pemerintahannyan , berita mengejutkan datang dari Tanah Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) memutuskan untuk menolak dan mengembalikan otonomi khusus dalam sebuah demontrasi di sana pekan lalu. Para demonstran membawa spanduk yang bunyinya menuntut pelaksanaan referendum di Papua, tolak otonomi khusus, dan tuntutan kemerdekaan di Papua. Para demonstran juga menuntut dialog dengan Jakarta harus melibatkan pihak ketiga, dan menyuarakan bahwa otsus gagal menjawab masalah rakyat Papua.
Situasi ini mengingatkan kita pada kondisi politik di Aceh sebelum perdamaian, terutama ketika tuntutan referendum yang dimobilisasi oleh SIRA tengah semangat digelorakan di Aceh. Tuntutannya sama, hanya saja, gerakan referendum di Aceh tidak secara terbuka menuntut kemerdekaan Aceh. Aktivis referendum Aceh juga menuntut penglibatan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik Aceh.
Kini situasi itu mulai menggejala di Papua. Adakah ini strategi Papua untuk mengikuti jalan damai Aceh, atau memang tuntutan kemerdekaan sudah mengalami radikalisasi disana, hanya orang Papua yang tahu jawabannya.
Otonomi dan Konflik
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apa kontribusi otonomi khusus terhadap masyarakat Papua dan mengapa otonomi malah memperbesar konflik.
Dalam studi tentang penyelesaian konflik disebut bahwa kebijakan pemberian otonomi kadang menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, otonomi dimaksudkan upaya untuk melakukan desentralisasi kekuasaan, mekanisme kompromi politik, secara administratif bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan juga sebagai mekanisme untuk menjaga integritas territorial sebuah negara. Namun, di sisi lain, otonomi juga berpotensi memperkuat identitas kelompok minoritas dan ini mendorong kelompok minoritas ini meningkatkan tuntutan mereka ke level yang lebih otonom atau bahkan ke level kemerdekaan.
Menurut studi Svante E Cornell (2002), otonomi bisa memperbesar konflik di sebuah kawasan dengan sejumlah cara. Dia mengulas, “There are two ways in which the institution of autonomous regions could be conceived of as conducive to secessionism: first of all by institutionalizing and promoting the separate identity of its titular group, thereby increasing group cohesion and the incentives of the group to act; and secondly by its political institutions that increase the capacity of the group to act." (Svante E Cornell (2002:15-16).
Di samping itu, menurutnya, otonomi bisa berubah menjadi konflik ketika daerah otonom melakukan sejumlah hal. Pertama, parlemen lokal mengumumkan penolakan terhadap pemberlakuan seluruh aturan nasional di daerah tersebut. Kedua, mereka mengumumkan bahwa kedaulatan pemerintah pusat sudah berakhir atau batal, ketiga menyerukan sebuah upaya pengumuman kemerdekaan bagi daerah otonom ini.
Kasus serupa pernah terjadi di Ossetia Selatan dan Abhkazia yang ingin memisahkan diri dari Georgia yang memicu perang antara Rusia dan Georgia tahun 2008 lalu. Kedua daerah ini menolak kedaulatan politik Georgia ke atas dua provinsi tersebut melalui keputusan parlemen mereka. Adakah Papua sedang menelusuri scenario ini? Wallahu’alam.
Kekecewaan Papua
Kekecewaan Papua terhadap otonomi khusus lebih mudah dipahami oleh orang Aceh ketimbang penduduk Indonesia lainnya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau orang Indonesia lain mungkin marah dengan aksi pengembalian otonomi kepada pemerintah pusat, respon dari Aceh saya yakin berbeda. Aceh memahami suasan kebatinan masyarakat Papua.
Sebenarnya problem yang dihadapi masyarakat Papua setelah mendapat otonomi mungkin sama dengan problem di Aceh. Masyarakat mengharapkan supaya otonomi bisa menciptakan perubahan bukan hanya semata-mata dalam pembagian kekuasaan politik yang hanya dinikmati oleh elit politik lokal, tetapi juga terciptanya perubahan taraf hidup masyarakat lokal. Namun, faktanya, di Papua dan mungkin juga Aceh, harapan itu seperti jauh dari kenyataan.
Secara jujur harus diakui bahwa persoalannya bukan melulu pada niat baik atau political will Jakarta, ketidakmampuan pemerintah lokal untuk memanfaatkan peluang otonomi dengan membangun pemerintahan yang bersih dan bertanngungjawab juga menjadi masalah penting. Ketidakberanian pemerintah lokal untuk melakukan terobosan dan ketakutan terhadap aturan-aturan nasional yang memang ingin mngikat daerah, adalah faktor lain yang membuat otonomi menjadi simbol politik desentralisasi semata.
Kegagalan cita-cita otonomi merupakan kontribusi pemerintah pusat yang tidak ingin memperkuat pemerintah lokal dan ketidakberanian pemerintah daerah untuk berpikir di luar kotak.
Papua merupakan contoh gagalnya otonomi khusus, dan apakah penolakan otsus ini akan mengantar Papua ke level otonomi politik yang lebih tinggi, itu sangat tergantung pada kemampuan aktivis politik di sana dalam memainkan tekanan kepada Jakarta. Yang terpikirkan oleh saya saat ini, adakah Aceh satu ketika nanti akan mengalami nasib yang sama dengan Papua? Tuan-tuan di pemerintah dan parlemen Aceh tentu lebih tahu jawabannya. Wallahu’alam bisshawab.[]
*)Dosen Ilmu Politik, Universita Malikussaleh dan Mahasiswa Ph.D Ilmu Politik, IIUM, Kuala Lumpur.
Selengkapnya...
Kamis, Juni 24, 2010
Otonomi dan Potensi Refrendum di Papua
Rabu, Juni 23, 2010
Berita Foto: Aliansi Rakyat Menggugat Solidaritas untuk Papua Merdeka
Selengkapnya...
Selasa, Juni 22, 2010
RAKYAT PAPUA HARUS BANGUN ORGANISASI PERLAWANAN/LEMBAGA POLITIK DI LUAR NKRI!!!
GARDA PAPUA: OTONOMI KHUSUS GAGAL, HENTIKAN KOMPROMI!
Kekuatan Rakyat Papua merupakan bentuk nyata yang dapat merubah kebijakan-kebijakan Pemerintah NKRI yang tidak memihak terhadap keberlangsungan Hidup Rakyat Papua. Otonomi Khusus tidak lahir karena kebaikan Pemerintah NKRI, tetapi karena perjuangan Rakyat Papua secara menyeluruh, kita masih ingat ketika Reformasi di Indonesia terjadi tahun 1998, maka ada ruang demokrasi yang selama rezim Soeharto yang Otoriter tertutup dan mulai terbuka yang akhirnya runtuh karena ada kekuatan gerakan massa Rakyat yang Terpimpin.
Hal tersebut membuka ruang untuk terjadi konsolidasi di tanah Papua mulai dari terbentuknya Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI) kemudian ada Musyarah Besar (MUBES) dan akhirnya Kongres Rakyat Papua II, di bulan Mei tahun 2000, yang melahirkan Presidium Dewan Papua (PDP) sebagai mandat Rakyat Papua untuk memperjuangkan Aspirasi Rakyat Papua menuju Kemerdekaan. Namun, mandat itu dikompromikan sehingga lahirlah OTONOMI KHUSUS (OTSUS) Papua sebagai jalan tengah meredam aspirasi Rakyat Papua saat itu.
Dengan kekuatan rakyat, OTSUS juga pernah dikembalikan yang dimediasi oleh Dewan Adat Papua yang merupakan pilar ADAT dari PDP pada bulan Agustus 2005, namun tidak ada perubahan apa pun yang terjadi walaupun selalu dikampanyekan oleh DAP bahwa OTSUS sudah dikembalikan/dikubur tapi faktanya masih berjalan bahkan program-program seperti pemekaran, Transmigrasi, Investasi, penjualan Tanah Adat, Pengiriman Pasukan Militer, penahan para aktivis, dll masih terus terjadi dan meningkat, di sinilah terjadi pembodohan kepada Rakyat Papua bahwa OTSUS sudah dikubur.
Rakyat Papua saat ini harus kritis terhadap kompromi-kompromi yang dilakukan oleh ELIT-ELIT Papua yang selalu meredam gerakan perlawanan yang sesungguhnya, kita harus terus mengawal setiap keputusan-keputusan melalui forum-forum yang independent yang terorganisir dan memunyai mekanisme, arahan dan target kerja yang jelas. Kita tidak boleh percayakan mandat rakyat kepada ELIT-ELIT Papua yang wataknya selalu kompromi, tidak mau dikritik dan tidak memunyai strategi taktik yang jelas.
Kemerdekaan tidak datang dari lembaga-lembaga politik dan pemerintahan NKRI seperti MPR, DPR RI, DPD RI, Presiden, DPRP, Gubernur, MRP, DPRD Kota/Kabupaten, Bupati, partai-partai politik NKRI, organisasi-organisasinya NKRI, dll. Karena semua lembaga itu adalah milik NKRI, yang mengabdi kepada kepentingan NKRI.
Tapi kemerdekaan Papua datang karena rakyat Papua mau membangun alat/lembaga politik dan pemerintahanya sendiri, di luar semua alat/lembaga politik dan pemerintahan NKRI. Seperti apakah alat/lembaga politik dan pemerintahan itu? Kita bisa lihat beberapa contoh: CNRT di Timor Leste, PLO di Palestina, PAIGC di Guinea Bisau, dll . Alat/lembaga politik dan pemerintahan rakyat Papua dapat dibangun jika rakyat Papua mau mengorganisasikan perjuangan/perlawanannya.
Jadi dimulai dengan BERORGANISASI.
Bangun organisasi perjuangan/perlawanan yang dipimpin oleh orang-orangg yang disiplin, siap dikritik, mengerti mekanisme kerja, mengerti bagaimana membuat tahapan-tahapan kerja harian, dan selalu terlibat dalam aksi-aksi perlawanan rakyat sekecil apa pun, sehingga organisasi itu milik rakyat bukan milik elit-elit yang Egois dan Otoriter.
INGAT!!! HARI INI JANGAN KITA MENGULANGI KESALAHAN YANG SAMA !!!!
BERSATU UNTUK PEMBEBASAN NASIONAL !!!
18 Juni 2010
Komite Pimpinan Pusat
Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda Papua)
Ketua : Nasta
Sekjend : Smadav
Selengkapnya...
Papua Political Prisoners (3)
Sa diberikan hukuman pidana oleh pemerintah NKRI selama 3 Tahun. pasal yang dorang kenakan terhadap sa adalah 160 KUHP yang dong bilang pasal penghasutan ka ini. Dorang tangkap sa 3 Desember 2008 dan vonis hukuman Agustus 2009.
Sa tetap bahagia berada dalam penjara, karena sa sangat yakin ada kader yang akan melanjutkan perjuangan untuk tong pu rakyat tertindas.
Kawan, perjuangan tanpa akhir to...
''Suara Pembebasan harus diteriakkan dengan keras dan penuh dengan keyakinan untuk merebut kemenangan walaupun Nyawa Menjadi TARUHAN.''
Lawan...
wa...wa...wa..
Selengkapnya...
Papua Political Prisoners (2)
sekarang sa masi tunggu... sidang pengadilan. pu lama apa!!,karena pasal yang dong kenakan ke sa itu''Dakwaan Makar''. Kawan Lihat pasal yang dong kasi ke sa 106 KUHP/160 KUHP.
Sa sekarang ada di Lapas Abepura. sa hanya mo bilang untuk kamorang ''Jangan pernah takut untuk dimasukkan kedalam Penjara. Karena, menyuarakan kebenaran. Kebenaran bisa disalahkan tetapi tidak pernah dikalahkan.
Koyao..Amanai...Amakane.. Selengkapnya...
Papua Political Prisoners (1)
sa dari biak utara, kampung dwar. sa pu umur sekarang su jalan 51 tahun. Pemerintah NKRI tangkap sa waktu aksi damai di Lapangan Trikora,Abepura 01 Desember 2004. dorang tangkap sa, karena pada waktu itu sa dengan kawan - kawan kasih naik bendera Bintang Kejora.
sa dikenakan pasal makar dengan hukuman 15 tahun penjara. pasal pu banyak apa yang dorang kasih buat sa. Anak coba liat pasal - pasal yang dong kenakan untuk sa , 106,108,110 KUHP.
sa sekarang su kembali ke Lapas Abepura lagi sejak 09 Juni 2010. sa masih menunggu kepastian dr. Rumah Sakit PGI Cikini bagian urolog untuk tangani sa berobat di Jakarta.
Kamorang ingat e, perjuangan pembebasan Papua adalah perjuangan multi ras dan multi etnis. supaya tong dapat dukungan dari Masyarakat Internasional. Kamorang jang rasis dalam berpikir dan lihat baik - baik perjuangan untuk tong bebas dari pemerintah Kolonial.
Jouw Suba.
Selengkapnya...
Senin, Juni 21, 2010
Berita FOTO Aksi MRP
Pada 12 Agustus 2005 Dewan Adat Papua (DAP) pernah mengembalikan UU 21/2001 dan menurunkan 10.000 massa aksi. Tetapi, realisasinya UU tersebut masih berjalan dan hak hidup terus terancam. Sekarang, di akhir masa jabatan Majelis Rakyat Papua (MRP) melakukan hal yang sama. Pada 18 Juni 2010, MRP mengembalikan UU No 21/2001 dengan menurunkan 8000 massa. Jadi, rakyat Papua Barat menunggu, apakah ini hanya Euforia semata. Gaung Politik Papua se-bak kembang api. Menyala, Terus Padam Lagi. Tong tunggu Obat Penawar apalagi yang akan diberikan Jakarta? Berita foto ==>
Selengkapnya...
Minggu, Juni 20, 2010
Papuan Political Prisoners in Prison Abepura
''Melenyamkan kejahatan adalah awal dari kebajikan dan menyingkirkan kebodohan adalah awal dari kebijaksanan (Gerard M Hopkins)
Sejarah membuktikan bahwa tokoh-tokoh dunia seperti: Nelson Mandela (Afrika Selata, Mahatma Gandhi (India), Soekarno-Hatta (Indonesia), Auung San Syu Kyi (Burma), dan Xanana Gusmao (Timor Leste) justru menjadi besar dan berhasil menjadi Simbol perlawanan rakyat terhadap kekuasan Otoriter dan menindas.
Penjara ...memang bisa memasung jiwa dan raga. Namun, tidak akan bisa memasung dan membelenggu serta membungkam pikiran dan kebenaran yang kami suarakan.
''KAMI, MENYUARAKAN ASPIRASI RAKYAT PAPUA UNTUK KEADILAN''
Selengkapnya...
Demonstrasi Terbesar di Tanah Papua: Rakyat Papua Minta Refrendum
Demonstrasi terbesar yang pernah ada di tanah Papua itu dipimpin Ketua MRP Agus Alua. Selain itu terlihat juga Dr. Benny Giyai dan beberapa pendeta ternama di tanah Papua. Saat tiba di halaman Gedung DPRP, masa membentang sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan: “UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua telah gagal total.” “Tak ada solusi kecuali Papua Merdeka.” “Referendum solusi terakhir bangsa Papua Barat.” “Otsus gagal hak hidup rakyat Papua terancam.”
Koordinator aksi Pdt John Baransano mengajak masyarakat pendemo mengepalkan tangan sebagai simbol perkabungan bagi rakyat Papua sembari mengajak massa menyeruhkan Papua Merdeka, Papua Merdeka. “Mari kita berjuang melawan penindasan tanpa melakukan kekerasan,” tukas Baransano.
Dr Benny Giay menegaskan, pihaknya berada di tempat ini, karena satu perjuangan untuk mengembalikan Otsus, merebut kembali harga diri bangsa Papua, merebut kembali hak- hak rakyat Papua yang dirampas. Selanjutnya Giay dituntun Pdt John Baransano menyalahkan sebuah lilin sebagai suatu simbol mengenang para leluhur yang telah pergi selama lamanya demi membela hak- hak rakyat Papua.
“Kami bukan bangsa bodoh seperti yang engkau pikirkan,” ucap Giay disambut pekikan merdeka dari massa. Ketua Komisi DPRP Ruben Magay menandaskan, referendum adalah jalan keluar yang menentukan masa depan rakyat Papua. Giyai, Alua, Magai mengatakan, tuntutan referendum ini adalah solusi terakhir untuk rakyat Papua. “Masalah Papua harus diselesaikan melalui referendum. Jakarta dan Papua harus duduk bersama untuk mencari pihak ketiga untuk menyelenggarakan referendum,” kata mereka tegas. ***
Selengkapnya...
Upaya Pemekaran Propinsi Papua Tengah dan Tindak Kekerasan Alat Reaksioner Negara (TNI/Polri) di Puncak Jaya – Papua
Melalui kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah Tingkat II Puncak Jaya, Pangdan XVII Trikora dan Polda Papua pada bulan maret 2010, wilayah Kecamatan Tingginambut di jadikan Daerah Operasi Militer (DOM) atau dengan kata lain “Kebijakan Bumi Hangus”. Dalam kesepakatan tersebut dikeluarkan deadline akhir pada tanggal 28 Juni 2010 kepada massa Rakyat Papua untuk mengosongkan wilayah tersebut. Kebijakan ini jelas-jelas mengabaikan hak-hak dasar Rakya Papua untuk hidup aman dan damai diatas Tanah Airnya sendiri.
Operasi sapu bersih yang dilakukan Alat Reaksioner Negara (TNI/Polri) dengan alasan untuk melumpuhkan terhadap Tentara Rakyat Papua dibawah Pimpinan Goliat Tabuni telah mengakibatkan ratusan hingga ribuan warga massa Rakyat Papua khususnya di Distrik Tingginambut, Kampung Guragi dan Yambi kehilangan nyawa, tempat tinggal, ternak dan sumber pendapatan sebagai petani tradisional.
Aksi brutal dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh alat reaksioner Negara (TNI/Polri) terhadap massa Rakyat Papua di Kabupaten Puncak Jaya terus berlanjut, terhitung sejak Maret 2010, Kindeman Gire (Pendeta) dan Enditi Tabuni (anak mantu dari Pdt. Yason Wonda, Wakil Ketua Klasis GIDI Mulia) tertembak hingga mati. Juga pada bulan yang sama terjadi tindak kekerasan terhadap massa Rakyat Papua ; Garundinggen Morib (45 Thn), Ijokone Tabuni (35 Thn), Etiles Tabuni (24 Thn), Meiles Wonda (30 Thn), Jigunggup Tabuni (46 Thn), Nekiler Tabuni (25 Thn), Biru Tabuni (51 Thn/sedang sakit parah), Tiraik morib (29 Thn), Yakiler Wonda (34 Thn), Tekius Wonda (20 Thn), Neriton Wonda (19 Thn), Yuli Wonda (23 Thn), Kotoran Tabuni (42 Thn) mengalami tindak penyiksaan yang tidak manusiawi mengakibatkan ke-13 korban harus menahan derita dan sakit hingga tinggal menunggu maut menjemput.
Hingga saat ini belum terdata secara pasti berapa jumlah korban jiwa dan material yang berjatuhan karena begitu ketatnya kontrol informasi yang dilakukan oleh Alat Reaksioner Negara (TNI/Polri). Dan pengungsian ribuan massa Rakyat Papua dari dua Kampung tersebut sejak kemarin 07 Juni 2010 telah masuk di Wilayah Kabupaten Jayawijaya – Wamena dan diiperkirakan pengungsian lain akan menyusul. Selain itu pengungsian dari dua daerah tersebut juga telah masuk dibeberapa daerah seperti ; Ilaga, Sinak, Kuyawagi, Ilu dan sekitarnya. Alat Reaksioner Negara dari gabungan kesatuan TNI AD, TNI AU, TNI AL dan Polri (Brimob) telah menguasai hampir seluruh pelosok dan kota Kabupaten Puncak Jaya, bahkan kendali pemerintahan sepenuhnya dikuasi oleh Alat Reaksioner Negara (TNI/Polri). Hingga saat ini tindakan pembakaran terhadap rumah-rumah warga massa Rakyat, Gereja (GIDI), penembakan ternak dan intimidasi terhadap Rakyat Papua terus berlanjut.***
“Jika hatimu bergetar marah karena ketidakadilan, maka kau adalah Kawan Sejatiku”
------------------
Sumber:http://kpamwp.wordpress.com/
Selengkapnya...
Jumat, Juni 18, 2010
OTONOMI KHUSUS PAPUA
Manis di Bibir Jakarta, Duka Lara bagi Rakyat Papua
Oleh Markus Haluk*)
Masyarakat asli Papua, dari berbagai daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat hadir, dalam musyawarah di Jayapura. Eksekutif dan legislatif dari kedua provinsi turut diundang pula. Sementara dari pemerintah Pusat, yang diundang dan hadir secara langsung, termasuk Direktur Otonomi Khusus pada Departemen Dalam Negeri dan Desk Papua Polhukam.
Tujuannya, mendapat masukan secara menyeluruh tentang pelaksanaan Otonomi Khusus selama sembilan tahun di tanah Papua.
Ketua Majelis Rakyat Papua Drs. Agus Alue Alua menyampaikan bahwa pengalaman perjuangan MRP tentang hak-hak dasar orang asli Papua selama lima tahun menunjukkan dalam implementasi UU Otonomi Khusus terdapat inkonsistensi sikap dan perbuatan pemerintah Pusat dan Daerah terhadap pelaksanaan otonomi.
Secara substansial ada tiga sebab munculnya aspirasi Papua merdeka: (1) Status politik Papua dalam NKRI bermasalah. Rakyat Papua yakin sudah merdeka 1 Desember 1961. Mereka percaya pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat 1969 cacat hukum dan moral; (2) Pelanggaran HAM pada rakyat Papua, termasuk ekploitasi sumber daya alam, terjadi terus-menerus; (3) Kegagalan pembangunan selama 37 tahun di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur. Simbol utama kepercayaan pada kemerdekaan ialah bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua dan lambang Burung Mambruk.
Puncak dari penyampaian aspirasi politik Papua ialah Tim 100 pada 26 Februari 1999 di Istana Negara di hadapan Presiden B.J. Habibie. Menanggapi aspirasi rakyat Papua, pemerintah Pusat menyetujui perbaiki kesejahteraan melalui pembangunan agar meminimalisir aspirasi politik dan pelanggaran dengan ditetapkannya TAP MPR IV MPR/1999.
Adapun semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah Pusat kepada rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua, dalam segala segi pembangunan, agar meminimalisir aspirasi merdeka orang Papua untuk keluar dari NKRI dan menyelidiki, mengadili dan menghukum pelanggaran berat HAM Papua selama 40-an tahun.
Maka program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah Provinsi harus mengambil tiga kebijakan prioritas utama yakni kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative policy and action) terhadap orang asli Papua, kebijakan dan aksi perlindungan (protective policy and action) terhadap orang asli Papua serta kebijakan dan aksi pemberdayaan (empowerment) terhadap orang asli Papua.
Pemerintah Sibuk Memikirkan Uang Otonomi Khusus
Ternyata selama sembilan tahun pelaksanaan UU Otonomi Khusus di tanah Papua, pemerintah lebih sibuk memikirkan dan mengerjakan bagaimana dana Otsus diperoleh (dicairkan di pusat), dibagi (di Provinsi dan Kota/ Kabupaten) dan dipertanggujawabkan (kepada pemerintah pusat). Demikian pula sejumlah perdasus yang dihasilkan pun belum terlihat terobosan baru untuk menolong dan menyelamatkan orang asli Papua di atas tanah leluhurnya. Buku Papua Road Map karya Muridan Widjojo dkk dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memaparkan warga asli Papua terancam hidup mereka di kampung halaman sendiri.
Musyawarah Juni ini menilai bahwa implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus sejak tahun 2001 hingga kini tidak membawa perubahan yang signifikan dalam hidup orang Papua. Tiga kebijakan tersebut tidak dilaksanakan oleh Jakarta. Ini terbukti dari sejumlah fakta yang adalah duka lara yang dialami masyarakat Papua.
Awalnya, penculikan ketua Presidium Dewan Papua Theys H. Eluai oleh Kopasus pada 10 November 2001. Aparat keamanan Indonesia terus melakukan pembunuhan kilat, penembakan, penangkapan dan pemenjarahan para aktivis pro-demokrasi dan hak asasi manusia di Papua. Pemerintah juga mengeluarkan berbagai Undang-undang Pemekaran Kabupaten dan Provinsi, Intruksi Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, yang semuanya bertentangan dengan UU. No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah juga tidak berhasil dalam menangani illegal loging, illegal mining dan illegal fishing di tanah Papua maupun pengambilalihan tanah adat untuk pembangunan infrastruktur militer dan sipil lewat manipulasi, tekanan, terror dan intimidasi serta, tentu saja, janji-janji kosong.
Majelis Rakyat Papua tak Berdaya
Pada 26 Desember 2004, sebagai kado Natal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengantar PP. No. 54 tentang Majelis Rakyat Papua. Semula rakyat Papua banyak menaruh harapan akan peran lembaga ini, namun setelah dilakukan kajian yang mendalam tentang fungsi dan peranannya, ternyata isinya kosong alias gigi ompong.
Setelah lembaga ini terbentuk, semua keputusan terkait keberpihakan, perlindungan dan penyelamatan orang Papua, tidak satu pun diindahkan oleh Jakarta. Kami mencatat sejumlah keputusan yang diambil dari MRP dalam melaksanakan amanah Undang-Undang No. 21 tentang Otonomi Khusus tahun 2001; hasil Konsultasi Publik tentang Provinsi Irian Jaya Barat pada November 2005, dimana saat itu rakyat Papua dengan bulat menyatakan menolak Prov Irian Jaya Barat, namun Jakarta tidak menanggapi hasil konsultasi publik tersebut namun sebaliknya melalui Depdagri menunjuk Komisi Pemilihan Umum Pusat untuk menyelenggarakan Pemilihan Gubernur Prov. Irian Jaya Barat pada 11 Maret 2006, demikian pula Surat Keputusan MRP No. 14 tahun 2010, tentang Calon Wali Kota/Wakil Wali Kota dan Bupati/Wakil Bupati juga Jakarta lagi-lagi menolak keputusan tersebut.
Pemerintah Mesti Membuka Diri
Dengan melihat kegagalan pemerintah dalam menginplementasikan UU Otonomi Khusus Papua, kita perlu mencari solusi guna menyelesaikan persoalan Papua secara kontinyu, konprehensif, damai dan bermartabat. Jalan yang bijak dan bermartabat saat ini ialah keterbukaan pemerintah dalam pernyelesaian persoalan Papua melalui dialog antara orang Papua dengan pemerintah Pusat, yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Pilihan dialog merupakan salah satu solusi bijak dalam penyelesaian persoalan Papua saat ini.
*)Markus Haluk adalah Sekretaris Jendral Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia.
Sumber:http://andreasharsono.blogspot.com/2010/06/otonomi-khusus-papua.html
Selengkapnya...
Kamis, Juni 17, 2010
Hasil Pleno MRP: Otsus Gagal, Referendum Solusi Mutlak
Dari Jayapura dilaporkan, pembacaan putusan pleno oleh Ketua MRP Agus Alue Alua itu berlangsung singkat, yang kemudian ditindaklanjuti oleh perwakilan Komponen masyarakat Papua yang dalam putusan bersama itu, disepakati untuk menunda pengantaran Putusan Pleno Mubes MRP itu ke DPRP.
“Keputusan ini merupakan keputusan fundamental bagi masa depan orang asli Papua di Tanah Papua, sehingga keputusan ini akan terus dikawal oleh seluruh rakyat Papua, apapun resikonya, jadi kami putuskan untuk hari Jumat ini (18 Juni 2010:red) , kita akan mengantar bersama putusan ini ke DPRP,” tegas Salmon Yumama selaku juru bicara komponen masyarakat Papua seperti dilangsir Harian Bintang Papua.
Dalam keterangan tersebut, Yumame yang juga ketua Forum Demokrasi Papua Bersatu itu, menyebutkan, bahwa maksud dari penundaan ini sengaja dilakukan dengan maksud agar konsolidasi terkait putusan MRP ini ke seluruh wilayah di Tanah Papua, luar Papua maupun di Luar negeri. Hal yang sama juga ditegaskan Markus Haluk, Ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Indoensia (AMPTI) ini menyerukan agar seluruh masyarakat Papua secara bersama-sama berjuang membebaskan Papua dari cengkeraman pemusnahan yang secara sengaja dilakukan melalui kehadiran UU NO 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Pelno MPR yang berkesimpulan bahwa Otsus gagal dan refremdum untuk Papua adalah solusi akan disampaikan kepada DPRP Papua dan pemerintah provinsi Papua oleh seluruh rakyat Papua di Jayapura pada Jumat, 18 Juni 2010. Penyampaian dilakukan dengan aksi yang rencananya akan star dari gedung MRP Kota Raja menuju ke Gedung DPRP Papua dengan menurunkan ribuan masa. Dikabarkan seluruh aktivitas pemerintahan dan pendidikan serta usaha di tanah Papua lumpuh total.
Dua hari sebelumnya, rencana aksi itu telah disampaikan kepada public. “Ingat Jumat ini, sampaikan pada seluruh rakyat Papua, kita akan aksi damai longmarc dari MRP ke DPRP, sehingga tidak ada lagi orang yang bilang bahwa itu segelintir orang, itu hanya orang gunung atau itu hanya orang Pantai dan sebagainya, mari kita tunjukkan bahwa Papua yang dulu masih tetap satu,” teriak Markus lewat mikropohen yang tersedia di ruang sidang MRP.
Bukan hanya Markus, hadir pula Pdt. Jhon Baransan. Kepada seluruh komponen masyarakat, Jhon dengan nada tinggi menegaskan bahwa Otsus di tanah Papua gagal mensejahterakan rakyat Papua, Otsus bukan lagi sousi bagi rakyat Papua namun Otsus bagi rakyat Papua adalah mesih pembunuh modern.
“Kita tidak segelintir, oleh karena itu, kita akan tunjukkan bahwa yang segelintir itu siapa, seluruh masyarakat Papua akan turut dalam aksi ini, ini hari berkabung bagi kita semua,” terangnya. Sementara itu, Sekretaris DAP Leo Imbiri, kepada wartawan mengatakan bahwa aksi hari ini ke DPRP selain sengaja di ulur, panitia juga belum melayangkan surat pemberitahuan ke Polresta Jayapura.”Kami tidak ingin rakyat Papua ini selalu dibenturkan dengan aparat, oleh karena itu kami akan minta berikan surat pemberitahuan ke Polisi, bukan surat ijin,” lengkapnya.***
Selengkapnya...
Perjuangan pembebasan nasional Papua Barat bukan perjuangan melawan orang luar Papua (Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Ambon dan lainnya) tetapi perjuangan melawan ketidakadilan dan pengakuan akan KEMANUSIAANNYA MANUSIA PAPUA BARAT DI ATAS TANAH LELUHURNYA.Jadi, Merdeka bagi orang Papua adalah HARFA DIRI BANGSA PAPUA BARAT!