... Menulis tentang apa yang saya saksikan dengan MATA, HATI, dan PIKIRAN ke-MELANESIA-an saya di West Papua sebelum menerima salah satu bagian dari hidup yang mutlak, yakni KEMATIAN...

Selasa, Januari 25, 2011

Kekerasan Polisi Terhadap Warga!

Sabtu (5/6/10), sekitar jam 19.30 WIT, saya mengendarai motor saya untuk pulang ke rumah. Seperti biasa, perjalanan dari Waena ke Angkasa akan menjumpai kemacetan di beberapa titik ruas jalan Abepura hingga Kota Raja.

Padang Bulan, titik pertama kemacetan sudah saya lewati. Titik berikutnya adalah Lingkaran Abepura. Saat sampai di depan Koramil Abepura, kemacetan mulai terasa. Saat saya memperlambat laju motor saya, tiba-tiba sebuah motor bebek nyelonong dari sebelah kiri, tepat sekitar 5 meter di depan saya. Motor tersebut terhuyung-huyung. Pengendaranya mencoba menguasai motor yang dikendarai agar tak jatuh. Meski agak gelap, saya bisa lihat bahwa motor itu ditumpangi oleh 2 orang laki-laki Papua.

Tampaknya dua orang laki-laki dari pegunungan. Keduanya tak menggunakan helm. Laki-laki yang dibonceng langsung melompat dari motor. Ia kemudian menuju sebuah Kijang Pick Up yang sedang keluar dari tempat parkir sebuah toko di samping Koramil. Pick Up inilah yang sepertinya membuat beberapa kendaraan harus berhenti. Rupanya, Kijang Pick Up ini yang menabrak motor tadi.

Si pengemudi Pick Up tampak terdiam saat laki-laki yang melompat dari motor tadi berbicara padanya. Saya tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh keduanya. Tapi sepertinya laki-laki pegunungan tersebut menumpahkan kekesalannya karena ditabrak oleh Pick Up tersebut. Temannya, yang mengendarai motor bebek tadi tampak menunggu di pinggir jalan, masih di atas motor yang dia kendarai. Mesin motor masih menyala.
Tiba-tiba, seorang polisi mendatangi laki-laki pegunungan yang sedang bicara dengan pengemudi Pick Up tersebut dari arah Lingkaran Abepura. Si polisi, sambil berteriak, mengayunkan tongkat yang dipegangnya pada laki-laki tersebut. Saya tak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh si polisi, tapi sepertinya laki-laki pegunungan tersebut tidak terima dengan perlakuan si polisi pada dirinya. Tiba-tiba saja keduanya terlibat pertengkaran dan tak lama kemudian keduanya terlibat perkelahian di tengah jalan raya. Sontak, orang-orang yang lalu lalang di jalan tersebut berhenti dan memperhatikan perkelahian tersebut.

Saya masih tetap berada di atas motor saya. Saat keduanya terlibat perkelahian tersebut, laki-laki pegunungan satunya, yang mengendarai motor bebek yang tadi ditabrak oleh Pick Up langsung meninggalkan temannya yang sadang berkelahi dengan polisi.

Beberapa warga masyarakat yang menghentikan kendaraan mereka karena perkelahian antara polisi dan laki-laki pegunungan tersebut tiba-tiba berteriak, “Tangkap dia, tangkap dia!” sambil menunjuk-nunjuk laki-laki pegunungan tersebut. Mendengar teriakan tersebut, si laki-laki pegunungan sepertinya menduga bahwa ia akan menjadi korban amuk massa. Ia langsung mencoba keluar dari perkelahian untuk mencoba lari dari lokasi. Tapi si polisi terus mengayunkan tangannya ke arah laki-laki tersebut.

Saat laki-laki pegunungan tersebut melihat celah untuk lari, beberapa laki-laki yang ada di lokasi tersebut mencoba mengejarnya. Saya sendiri harus meninggalkan lokasi tersebut karena kendaraan lainnya mulai melanjutkan perjalanan mereka. Selanjutnya, saya tak tau apa yang terjadi pada laki-laki pegunungan tersebut.

Beginikah perilaku seorang Polisi? Walaupun saya melihat ada kesalahan pada kedua pengendara motor bebek tersebut karena tidak menggunakan helm, tapi apakah layak si polisi mengawali sebuah kekerasan di hadapan masyarakat? Ataukah kesalahan ada pada pengendara mobil Kijang Pick Up yang menabrak motor bebek tersebut? Ataukah ada kesalahan lain yang dibuat oleh kedua laki-laki pegunungan tersebut? Yang jelas, polisi tersebutlah yang mengawali perkelahian di hadapan warga dan memancing tindakan amuk massa.

Jika begini cara polisi menangani masalah, tidak heran jika banyak orang Papua yang mati karena ulah polisi. Jika di tengah kota seperti Jayapura saja seorang polisi bisa bertindak seperti ini, bagaimana dengan di daerah pedalaman Papua? (VCM)


Sumber: http://tabloidjubi.com/index.php/social-networks/blogger/2011/01/09/7-kekerasan-polisi-terhadap-warga
Selengkapnya...

Rakyat Papua Tidak Akui MRP

Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Eksnas F-PEPERA PB), Selpius Bobii, menegaskan, rakyat Papua tidak mengakui keberadaan MRP sebagai sebuah lembaga representatif kultural orang Papua. Sebab selama satu periode berlalu, kehadiran MRP tidak lebih dari lembaga pelengkap kepentingan Jakarta di Tanah Papua.


“Bangsa Papua sudah menolak Otonomi Khusus, jadi untuk apa MRP yang adalah anak kandung Otonomi Khusus itu mau dibentuk lagi di Tanah Papua. Rakyat tetap menolak itu,” ujar Selpius Bobii, Sabtu (22/1).

Ditegaskan, semua pihak yang terlibat dalam proses pencalonan dan pemilihan anggota MRP jilid kedua segera hentikan berbagai manufer kepentingan Jakarta di Tanah Papua. “Kami menilai, pemilihan MRP sangat kontroversial. Masyarakat Papua sudah menolak, tetapi Jakarta dan kaki tangannya di Papua tetap memaksa untuk menggenapi target politiknya. Ada apa sebenarnya? Kita harus cermati baik-baik kepentingan besar dibalik pembentukan MRP,” tandasnya.

Selpius menilai kepentingan negara dengan hadirnya MPR, tentu saja dalam rangka mengamankan kepentingan politiknya di Tanah Papua, yakni menjaga keutuhan wilayah NKRI. Kepentingan itu dilaksanakan oleh semua kekuatan negara baik di tingkat pusat dan daerah. Ironisnya, sekelompok orang yang berkepentingan mengejar kekayaan dan jabatan turut memperbodoh masyarakat adat Papua.

“Tidak ada niat baik dari pemerintah. Semua ruang demokrasi dibungkam habis. Mereka sangat ketakutan jika Papua lepas dari NKRI. Karena itu, pemerintah dan kaki tangannya bermain di semua lini dengan menghalalkan segara cara untuk menipu kepada dunia bahwa Papua masih aman, tidak ada persoalan, masih bagian resmi dari Indonesia. Padahal, fakta riil justru terbalik dan negara lain sudah tidak percaya dengan kampanye politik murahan Indonesia,” ungkapnya panjang lebar.

Bagaimana jika pemilihan MRP tetap dilaksanakan? Selpius menyatakan, bangsa Papua sama sekali tidak akan pernah mengakui keberadaan MRP. Sebab, masyarakat adat Papua melalui DAP telah menolak dan mengembalikan paket Otsus kepada pemerintah Indonesia. Tanggal 18 Juni 2010, MRP bersama orang asli Papua mengantar hasil musyawarah (9-10 Juni 2010) yang disahkan oleh MRP 16 Juni 2010.

“Kalau MRP tetap dipaksakan dipilih dan dilantik, maka bangsa Papua menganggap MRP itu ilegal, karena orang-orang yang duduk di MRP bukan representasi kultural orang Papua, melainkan representasi kultural ras Melayu. Walaupun yang akan duduk adalah orang Papua berambut keriting dan berkulit hitam, tetapi mereka berwatak ras Melayu demi mengamankan kepentingan Indonesia di Tanah Papua dan untuk memperpanjang penindasan,” tegas Selpius.

Baginya, proses pemaksaan yang sedang dilakukan pemerintah dan pelacuran politik sekelompok orang untuk membentuk MRP adalah dalam rangka memperjuangkan hak-hak dasar ras Melayu, bukan untuk memperjuangkan ras Melanesia (etnis Papua). Lembaga itu dibentuk untuk mengamankan paket politik Otsus Papua.

Sebelumnya, Front PEPERA Papua Barat dalam sebuah jumpa pers di Honai Asrama Tunas Harapan Padang Bulan Abepura, Jayapura, Senin (17/1), menyatakan sikap tegas terhadap proses pemilihan anggota MRP periode kedua.

Demikian pula, pada Senin (10/1), melalui komunike bersama pimpinan gereja-gereja di tanah Papua menyikapi status Otsus Papua dan Majelis Rakyat Papua, yang mana di tanda tangani oleh Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt. Benny Giay., Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Pdt. Socratez Sofyan Yoman, MA., Ketua Sinode Gereja Bethel Pantekosta Papua, Pdt. Tony Infandi, S.Th, MA,. serta Pdt. Jemima Krey, S.Th, dimana ditegaskan untuk seleksi MRP jilid dua di hentikan hingga pemerintah menjawab 11 rekomendasi yang sebelumnya telah disampaikan rakyat Papua.

selain itu, beberepa elemen organisasi basis rakyat Papua pada Rabu (12/1), telah menyatakan menolak kehadiran MRP jilid dua, melalui perwakilannya, yakni Marthen Agapa (Parlemen Jalanan), Musye Weror (Badan Eksekutif Mahasiswa Uncen Jayapura), Usama Yugoby (KRPBK), Jack Wanggai (WPNA), Pet Rumbiak (Pemuda Independent Papua), Alius Asso (Solidaritas Hukum dan Demokrasi Rakyat Papua) dan Simson Alua dari Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua-Indonesia (AMPTPI), termasuk Dewan Adat Papua (DAP) telah nyatakan sikap menolak hal tersebut.

Sumber: http://tabloidjubi.com/index.php/daily-news/jayapura/10672-rakyat-papua-tidak-akui-mrp



Selengkapnya...

Telenggen Gire Disiksa Oknum TNI Selama Tiga Hari

Tuntutan terhadap terdakwa anggota TNI dalam kasus Puncak Jaya ternyata menyulut rasa tidak puas sebagian masyarakat. Terutama masyarakat Papua yang sangat mendambakan terwujudnya rasa keadilan bagi mereka. Hati rakyat Papua terluka kembali lagi atas tuntutan Oditurat Militer Mahkamah Militer III terhadap pelaku pelanggaran HAM 3 (Tiga) orang anggota TNI dari Batolyon 753 Nabire; Serka Dua Irwan Riskianto (10 bulan), Prajurit Satu Thamrin Makangiri (9 bulan) dan Prajurit Satu Yakson Agu (12) bulan. Tuntutan ini memperlihatkan penegakan hukum di Indonesia khususnya di Tanah Papua belum benar-benar ditegakan bagi aparat keamanan/Militer.



KontraS, KontraS Papua dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia dalam siaran persnya yang diterima Jubi menyebutkan bahwa banyak fakta ketidakadilan telah terjadi selama proses persidangan di Pengadilan Militer III/19 Jayapura, Papua, pada Kamis 20/1/2010. Proses hukum terkesan terburu-buru. Saksi korban pun tidak dihadirkan dalam proses persidangan. Disamping itu, proses hukum sesungguhnya disidangkan di pengadilan HAM bukannya di Pengadilan Militer sebab korbannya adalah warga sipil.

Tiga organisasi non Pemerintah ini merujuk pada testimoni pada 29 Oktober 2010, hasil wawancara dengan B.W. Kogoyanan di tempat persebunyian Tunaliwor Kiwo, dengan jelas korban menyampaikan bahwa penyiksaan dilakukan selama 3 hari dari tanggal 30-2 Juni 2010 secara berturut-turut. Korban menuturkan bahwa selama proses penyiksaan, anggota berkomunikasi dengan pos Militer yang lain.

“Pada tanggal 2 Juni pukul jam 3.00 Waktu Papua mereka kontak dangan HT dimana kesatuan mereka bertugas di pos Kalome, pos Tingginambut dan pos Puncak Senyum bahkan mungkin di kota Mulia juga mereka melaporkan bahwa, yang satunya mereka sudah tembak ditempat tetapi satunya masih hidup ketika mendengar itu saya pikir Telengga Gire mungkin sudah tembak mati ka pada hal belum. Ternyata maksud mereka sudah ditembak itu mau tembak saya (Kiwo).” terang Kiwo dalam testimoninya.

Korban sendiri mengalami penyiksaan berat lebih 32 bentuk diantarnya mulai dari diseret, ditendang, membakar kemaluan hingga dicukur rambut dengan berdarah-darah sampai dengan rencana pembunuhan terhadap dirinya pada pukul 09.00 Wp.

Markus Haluk (Sekjen AMPTPI) yang hadir dalam siaran pers di Kantor KontraS Jakarta (22/01) bersama Haris Azhar (Koordinator Eksekutif Nasional KontraS) dan Olga Hamadi (Koordinator KontraS Papua) menegaskan bahwa proses penyiksaan yang dialami Tunaliwor Kiwo penyiksaan kategori pelanggaran HAM berat. Sebab proses penyiksaan dilakukan selama 3 hari secara berturut-turut dan pelaku juga menjalin komunikasi dengan pos Militer yang lain. Disamping itu, kekerasan seperti ini telah terjadi sejak tahun 2004. Ketiganya juga menegaskan bahwa rekomendasi KOMNAS HAM bahwa telah terjadi Penyiksaan Berat tidak jelas dan terkesan melindungi pelaku. Sebab sesuai fakta dan laporan yang ada sesungguh telah terjadi pelanggaran HAM Berat.

Oleh sebab itu, demi tegaknya hukum, HAM dan guna memberikan keadilan bagi rakyat Papua dan secara khusus bagi korban ketiga organisasi Non Pemerintah ini mendesak 1) KOMNAS HAM menarik kembali rekomendasi dan membetuk Tim Pencari fakta yang memiliki legitimasih hukum untuk memproses hukum di pengadilan HAM Berat; 2) Mendesak kepada Panglima TNI untuk menghentikan proses hukum di Mahkamah Militer III sampai pengungkapan hasil Tim Pencari Fakta ; 3) Menyerukan kepada Pemerintah RI untuk menghentikan segala bentuk kekerasan yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya dan Papua pada umumnya.


Sumber: http://tabloidjubi.com/index.php/daily-news/jayapura/10671-telenggen-gire-disiksa-oknum-tni-selama-tiga-hari-
Selengkapnya...

Rabu, Januari 19, 2011

Sidang Lanjutan Video Kekerasan Jilid II

Komandan Mengaku Tahu Kasus Penyiksaan dari Media

Makin menarik saja sidang lanjutan kasus video kekerasan jilid II di Puncak Jaya, yang tengah disidangkan di Mahmil 111-19 Jayapura. Sidang kemarin masih mengagendakan pemeriksaan saksi, diantaranya atasan langsung para terdakawa.


Perwira Komandan Taktis (Pakotis) Mulia, Kapten (Inf) Septianizar mengaku hanya melihat samar samar pelaku dalam video yang diduga dilakukan oleh tiga anggotanya. Hal ini diungkapkannya dalam sidang lanjutan kasus video kekerasan jilid II, yang berlangsung di Pengadilan Militer III-19, Dok V, Selasa (18/1) dengan terdakwa Pratu Yapson Agu.

“Saya kenali hanya Serda Irianto yang sulut rokok di muka korban, tendang dan todongkan senjata di kepala korban. Sementara terdakwa Yapson Agu, tidak terlihat jelas gambarnya samar-samar, karena ambil gambarnya fokus di korban,” ungkapnya saat ditanya hakim apakah mengenali pelaku penyiksaan dalam video yang sudah beredar luas di dunia maya itu.

Diakui, peristiwa penyiksaan oleh anggotanya ini baru diketahui awal Desember itupun dari media. Meski demikian dia mengaku memang mendapat laporan dari Wadanpos Serda Irianto (terdakwa) pada hari kejadian, namun yang dilaporkan adalah terkait penangkapan kedua korban yang dicurigai sebagai anggota TPN/OPM. “Kejadian ini dilaporkan tidak berapa lama setelah kedua korban ditahan di Pos Gurage, sekitar pukul 14.30 Wit,”katanya.

Pada saat itu, aku saksi Septianizar, dirinya memerintahkan agar kedua warga tersebut dilepas, karena tidak cukup bukti untuk dilakukan penahanan terhadap keduanya.

“Saat itu dilaporkan kalau keduanya ini ditangkap karena selain dicurigai TPN/OPM, juga ketika diperiksa, Anggun Pugukiwo memiliki dua KTP sedangkan Telenggen Gire tidak punya KTP. Oleh karena itu saya memerintahkan kedua warga ini dilepaskan,” ungkap Pasi Intel Korem 173/PVB Biak ini.

Komandan Pos Gurage, Tingginambut Letnan Satu (Inf) Sudarmin, dalam kesaksiannya mengaku tidak pernah mendelegasikan atau menyuruh ketiga anggotanya untuk melakukan penyiksaan terhadap dua warga yang diduga anggota TPN/OPM.
“Siap tidak pernah,” tegas Sudarmin saat ditanya Hakim apakah penyiksaan yang dilakukan ketiga anggotanya atas perintahnya.

Diakui Sudarmin, saat kejadian dirinya tidak melihat kejadian sebab sedang berada di Pos Yambi untuk membantu pengamanan di Pos tersebut. “Mereka tidak melaporkan, saya baru tahu kejadian setelah melihat video sekitar bulan Desember,” katanya.
Sebelum meninggalkan pos Gurage, dirinya mengaku sudah memberikan perintah kepada anggotanya agar mengintensifkan kegiatan patroli dan penjagaan pos setiap saat. Tanpa ada perintah untuk bertindak represif terhadap warga masyarakat yang dicurigai dari kelompok separatis bersenjata.

Persidangan dipimpin hakim, Letkol CKM Adil Karo-karo didampingi hakim Letkol CKM Efendi dan Mayor Heri, Oditur Militer Mayor CHK Sumantri, sementara Kuasa hukum tiga terdakwa, Letkol Adam Panto.

Tiga terdakwa yakni, Serda Irianto Riskianto (Wadanpos Gurage), Pratu Yapson Abu, dan Pratu Thamrin Mahangiri, Irianto dikenakan pasal 103 Kitab Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), sementara Pratu Yapson dan Pratu Thamrin dikenakan pasal 103 ayat 1 jo ayat 3 ketiga KUHPM.

Seperti diketahui, kasus penyiksaan yang sempat heboh di dunia maya ini terjadi 27 Mei 2010 lalu, dimana saat itu ketiga terdakwa yang bertugas sejak April 2010 di pos Satgas Yonif 753/AVT di kampung Gurage, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, tidak mentaati perintah dinas, yang dilakukan secara bersama-sama.

Dimana pada waktu itu sekitar pukul 12.00 siang, tiba tiba ada sepeda motor yang dikendarai 3 orang melintas di depan pos menuju kota Mulia dua diantaranya merupakan korban dan seorang tukang ojek. Namun karena mesin motor mati, petugas yang berjaga di pos suruh merapat. Saat berada di pos itulah, anggota melihat salah satu korban memakai kalung biru yang ditandai sebagai anggota kelompok separatis.

Kemudian terdakwa bersama dua terdakwa lainnya membawa kedua korban, Anggun Pugukiwo dan Telenggen Gire ke belakang pos, dan menanyai identitas keduanya. Korban Anggun Pugukiwo diketahui memiliki dua KTP sehingga terdakwa merasa curiga, apalagi saat itu ketika ditanyakan kepada masyarakat apakah mengenal keduanya, masyarakat menjawab bahwa korban Anggun Pugukiwo merupakan anggota kelompok separatis yang sering berbuat onar, melakukan pemalakan di wilayah itu.

Ketika diinterogasi korban Anggun Pugukiwo memberikan jawaban yang berbelit-belit menyebabkan ketiga terdakwa emosi dan melakukan tindakan keras, korban ditelanjangi hanya menggunakan celana dalam, lalu disuruh telentang di atas tanah. Dengan kepala ditutup plastic hitam, bahkan terdakwa Thamrin menyulutkan kayu yang sudah dibakar ke kemaluan korban hingga bulu-bulu korban terbakar. Tidak hanya itu, tiga terdakwa Serda Irianto, Pratu Thamrin, dan Pratu Yapson secara bergantian menginjak muka korban dengan menggunakan sandal, dan menodongkan senjata di leher korban.


Hingga akhirnya korban mengaku dan memberitahukan kalau terdapat pucuk senjata yang disimpan Goliat Tabuni dan kawan-kawan yang disimpan di kandang babi. Selanjutnya, korban Telenggen Gire dipulangkan sementara Anggun Pugukiwo masih ditahan di Pos. Korban lalu diobati lukanya, dimandikan, dan diberi makan. Namun, malam sekitar pukul 03.00 dini hari diketahui korban telah melarikan diri dari pos. (ar/don/03)

Sumber: www.bintangpapua.com



Selengkapnya...

Pemilihan Anggota MRP Terus Disorot

Kali ini oleh Ketua Umum Front Pepera PB Selpius Bobii yang menggelar jumpa pers di pendopo (honay) Asrama Tunas Harapan Padang Bulan Senin (17/1). Sorotan tersebut diungkapkannya dalam jumpa pers, yang intinya mendesak agar proses pemilihan anggota MRP untuk dihentikan.

Berbeda dengan para ketua Sinode yang meminta penghentian dengan alasan menunggu jawaban 11 rekomendasi MRP yang diserahkan ke DPRP, Selpius Bobii lebih menyoroti tentang Otsus yang diistilahkannya sebagai naga tua. Sedangkan MRP sebagai naga muda yang merupakan anak naga tua tersebut.

“Anak naga Otsus (MRP) ini gigi taringnya telah dicopot oleh pemerintah, maka ia tak dapat mencengkeram, menggigit dan menangkap sesuatu,” ungkapnya. Hal itu, ia menjadi bertanya-tanya kepada orang Papua yang berlomba menjadi anggota MRP, sedangkan perannya tidak ada akibat gigi taringnya telah dicopot oleh negara.

“Apakah hendak menjadi anak naga yang tidak produktif karena gigi taringnya telah dicopot? Apa yang hendak disumbangkan bagi orang asli Papua?,” ungkapnya bertanya-tanya.

Disinggung tentang proses pendaftaran yang tampaknya terus berjalan dan bahkan tampak masyarakat hingga dari kampung-kampung cukup antusias menjadi anggota MRP, Selpius Bobii menegaskan bahwa jika dipaksakan dan hingga sampai dilantiknya anggota MRP yang baru, maka itu dianggap ilegal.

“Kalau dipaksakan, kami menganggap ilegal. Anggota MRP itu tidak lagi mewakili orang asli Papua yang terdiri 273 suku se Tanah Papua,” tandasnya.

Sehingga ia yang mengaku sebagai aktifis Papua yang tidak tertipu dan tidak terbuai oleh naga tua otsus dan anak naga MRP, mengeluarkan 12 peryataan dan seruan.
Seruan tersebut diantaranya mengajak orang asli Papua untuk bersatu dan bergabung dalam barisan pejuang Papua untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai penindasan dalam segala dimensi kehidupan orang Papua yang di lancarkan oleh Negara Indonesia dan kroni-kroninya.
“Bagi orang papua yang terbuai dengan kebohongan dana otsus yang kini berusaha menggantikan anak naga yang kedua, yakni MRP periode 2011-2016 segra berhenti dari perekrutan dan pemilihan MRP,” serunya.

Selain itu juga diserukan kepada rakyat Papua untuk segera rapatkan barisan untuk melakukan demonstrasi yang akan di koordinir oleh pimpinan Gereja di Tanah Papua.
“Pemerintah segera menghentikan perekrutan dan pemilihan MRP yang di lakukan melalui Kesbang Pol di tanah Papua serta bubarkan MRP boneka Jakarta,” serunya yang disertai berbagai seruan dan pernyataan senada.

Juga tentang dialog antara Jakarta dan Papua yang menurutnya sangat diharapakan terlaksananya. “Berdialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga (Negara) yang netral untuk membicarakan pelbagai kompleksitas permasalahan di Tanah Papua agar mendapatkan sousi terbaik bagi penyelesaian sengketa atas Papua Barat,” harapnya.(aj/don/03)

Sumber: www.bintangpapua.com



Selengkapnya...

----------------------------------------------------------------------------------------
Perjuangan pembebasan nasional Papua Barat bukan perjuangan melawan orang luar Papua (Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Ambon dan lainnya) tetapi perjuangan melawan ketidakadilan dan pengakuan akan KEMANUSIAANNYA MANUSIA PAPUA BARAT DI ATAS TANAH LELUHURNYA.Jadi, Merdeka bagi orang Papua adalah HARFA DIRI BANGSA PAPUA BARAT!